Senin, 05 Juli 2010

Asam di gunung, garam di laut

0 komentar




Tepat setahun yang lalu, setelah ku menggenapi tahun yang penuh suka dan duka. Yaps, 28 Juni 2009 adalah hari yang biasa aja tapi seneng (*jiah nda special, payah!). Biar ku ceritakan padamu tentang perjalanan yang merupakan pengalaman pertamaku jalan-jalan ke pantai Baron (*sumpah pantai yang indah). Ini adalah penggalan kisah dari seribu kenangan. Mau tahu ceritanya? Begini ceritanya hahahaha (*pake ketawa ala pahlawan bertopeng).

Fajar hendak menggantikan malam saat ku terbangun dari lelap yang indah. Aliran sungai yang mengalir dari sudut bibirku pun telah kering rupanya (*ich jorok ileran!). Suasana kost masih sepi, terdengar suara yang tak asing lagi dari kamar sebelah yang mernyerupai suara kodok (hahaha pasti suara cewek ngorok). Hmm hari ini gembiraku penuh, terbayang di kelopak mata indahnya perjalanan yang akan ku tempuh Jogja-Wonosari, mantap! Mandi jadi ritual pertama dalam perjalanan ini meskipun air dingin menusuk setiap pori-poriku tak ku hiraukan, dari pada bau badan karena nda mandi???

Ba’da sholat subuh, Aa dan motor tuanya sudah menjemputku di depan kost (*rajin ya?). Kami berangkat menyusuri jalan yang masih berkabut senada dengan cakrawala, Jogja memang selalu indah. Selain indah, Jogja adalah saksi hidup kisah cinta ini (*cuit cuit). Perjalanan berlanjut dan menyusuri bukit yang nan indah di jalan wonosari, ngak tau bukit apa namanya, kengerian muncul di dalam hatiku. Maklum trauma kecelakaan ampe 9 kali, kalo yang ke 10 nda lagi dech, kapok. Lekukan hijau pohon-pohon besar mengukir indahnya kenangan. Pesonanya membuat decak kagum bagi yang melihatnya. Ada tikungan yang mengajari kita menghitung kecepatan (*Dilarang ngebut!).

Dua jam kemudian kami tiba di pantai. Aku selalu mencintai pantai. Mengagumi  ombaknya yang berlarian indah. Buih-buih berkata lewat hamparan pasir “Jangan mandi ombaknya ganas”. Nampaknya air laut sedang naik pagi ini. Jantung hatiku “Achmad Cahyanto” mencoba menikmati pantai seperti ia menikmati gunung sebagai kecintaannya. Dia mencintai gunung, dan aku mencintai pantai. Seperti garam di laut dan asam di gunung bertemu di kuali, seperti itulah kami (*wah ketemu dikuali juga tho?). perbedaaan karakter dan watak tak dapat memisahkan kami.

Kami duduk di pendopo kecil ditengah pulau yang kecil juga (*weis ra ngenah tenan tulisane). Merasakan desiran angin meraba pipi, hidung, tangan, badan ach semuanya lah. Disudut pulau ini kami abadikan dengan foto. Bergaya suka-suka ala narsis.com. Kan aku ketua KMK (Komunitas Muka Kamera) kanca kost kantil jadi disetiap tempat harus diabadikan dengan foto meskipun dengan tampang standar.

Kami sapa alam dengan senyuman. Laut mengajariku tentang kesabaran tiada batas. Kedalamannya mampu menenggelamkan duka dan air mata (*mungkin air laut jadi asin karena banyak yang nangis). Telah ku buatkan perahu mungil untuk impianku dan mimpimu, biarlah ia bermusafir dalam samudra cinta. Karena setia adalah mentari yang mengantar malam diujung samudra.

Pengunjung makin ramai ketika mentari sudah nampak sepenuhnya. Pasangan muda-mudi, anak-anak, orang tua bahkan nenek dan kakek pun turut serta mungkin mereka tahu kalo ada artis (aku) yang datang kepantai ini makanya rame (*iya artis yang tidak dan tidak akan pernah terkenal). Kami kemudian berjalan menyusuri pantai membiarkan air laut menyapa lembut telapak kaki. Ichhh perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata.

Setelah lelah menyusuri pantai, kami duduk di pinggiran pantai sambil menikmati kelapa hijau penghilang dehidrasi yang sedari tadi melanda kami. Aa tertawa bagai kanak-kanak ketika air kelapa muncrat dari sedotan yang kutarik dari bibirnya. Seperti biasa senyum gigi kelincinya selalu dia bawa kemanapun (*kan nda bisa dicopot). Hahahahaaa, ketawa lagi.

Panas terik mentari menyengat kulit ku (*awas kanker kulit lo) membuat kerlingan-kerlingan keringat yang bermunculan dari pori-pori. Wah, proses penghitaman kulit kami yang sudah hitam (*wow magic). Beberapa penjaja makanan dan penjual acecories menghampiri kami, berharap kami membeli barang dagangannya untuk mendapakan sejumlah materi. Hebat, mahal banget! Masa untuk gelang yang biasa di malioboro mereka jual dengan harga 3x lipat, ampun dech! Ya mungkin mereka belanjanya di Malioboro juga jadi pake ongkos jalan yang besar. Nda beli ah, mahal bin bikin tongpes alias kantong kempes (*halah bilang aja nda punya do’it).

Ketika sorot sinar matahari benar-benar diatas kepala kami memutuskan untuk pulang. Ya antisipasi agar kulit hitam kami nda jadi hijau, coz takut di kira satu species sama hulk. Sepanjang jalan pulang sebenarnya aku antusias dengan penjaja belalang, hmm pengen coba merasakan belalang. Wisata kuliner yang menjadi khas wonosari. He’ehhh tapi ternyata nyaliku terlalu ciut untuk mencicipinya. Mungkin suatu saat nanti pasti ku coba, yakin!

Di langit siang itu kami gambarkan senyuman paling tulus untuk masa depan.

Udah ceritanya, wong lupa ngapain aja disana. Kan udah lama terjadi taon lalu tuch. Dengan sifat pelupa yang ini kayanya memang berbakat sekali untuk menjadi nenek-nenek dimasa tua ya? Kan Aa ku jadi kakek ahmed senyum kelinci, dan aku jadi nenek mata panda. Hehehehee

Meskipun tulisannya ngak nggenah, tapi kalo bagus bilang-bilang ya? Kalo jelek buang ajach… makacieh…

Minggu, 04 Juli 2010

Love U Ozil... Jerman Is the Best

0 komentar

“Pilih capa hayo? Kalo Neng pilih Jerman. Coz ada Yayang Ozil ma Pappy Klose…” kataku.

“Argentina dong!” jawab seluruh penonton piala dunia yang ada di kamar Mbak Mico. Waduh kenapa jadi pilih Argentina ya?  Kalah sporter nich aku. Malam ini aku bersama teman kost berkumpul untuk menonton piala dunia Jerman VS Argentina. Nampaknya semua teman kostku penggemar Maradona dan anak buahnya (*gak hapal namanya). Payah, aku kalah suara malam ini (*sambil garuk-garuk kepala yang sama sekali ngak gatal). Kasian yayang Ozil ma Pappy Klose kurang penggemar rupanya di kost ini. Dengan rendah hati ku serahkan Jerman pada dunia.

Namun aku tak patah arang (*capa yang bakar-bakaran?). Tetap harus mendukung Jerman sebagai jagoanku yang sudah ku pilih dan jatuh hati sejak piala dunia 2002 (Ya, meskipun belum menjadi juara utama). Pertandingan segera dimulai kami masih sibuk atur posisi yang paling PW untuk nonton. Mbak Mico memilih posisi tengkurap sambil menatap layar laptopnya (*ambil posisi berenang di daratan). Mbak Seli PW diatas kasur sambil online lewat HPnya, FB harus jalan terus pokoknya. Mbak Dewi duduk manis di pinggiran kasur (*harus selalu manis kan miss kost hijau). Dan aku memilih posisi paling dekat dengan TV (*biar jelas liat Yayank Ozil, halah!).

Pertandingan pun dimulai dengan rapalan doa yang mengiringi di mulutku (*persis dukun membaca mantra). “Goooolllllllllllllll……………” teriakku lantang sekali mengagetkan para penggemar lelaki kuda (*hahaha kenapa orang Argentina sedikit mirip kuda hayo?). Pertandingan belum sampai tiga menit namun Jerman sudah berhasil membobol gawang Argentina. Yessss “Rasakno Maradona, kapok koe salahmu salahmu dewe”. Berbagai macam gaya ku liak liukan badan yang tak kurus ini (*hahaa 55kg bo, mantap).

“hahhh jangan kalah donk aku kan taruhan!” teriak histeris Mbak Seli sambil menangis (*padahal lagi sakit mata). “emang taruhan apa?” Tanya Mbak Mico penasaran. “Taruhan yang kalah harus nurutin kemauan yang menang!”. Waduh enak juga tuch kalo aku taruhan dan menang pasti yang kalah akan ku suruh merapihkan kamarku yang saat ini bentuknya mirip kompor meleduk (*bukan bom aja yang bisa meleduk, kamarku juga bisa).

Jantungku berdetak kencang, dag dig dug. Panas dingin. Harap harap cemas. (*norak dech). Teriak sana sini mendukung Jerman sambil berdoa bahkan bernadzar kalo Jerman menang aku akan puasa 1 hari besok (*walah??? Lebay.com). Nda papa yang namanya Fans itu akan mengekspresikan rasa kecintaannya dengan cara yang biasanya diluar akal sehat (*gila donk?). pertandingan babak pertama berakhir dengan skor masih 1-0 dan unggul untuk Jerman, saluutttt… Untuk sementara Jerman memang memimpin, namun hatiku masih saja terus berdetak seperti ABG yang baru jatuh cinta (*kalo ngak berdetak ya mati donk, astagfirullah). Hahay aku dibayangi ketakutan kalo Jerman kalah aku mau nangis ach, dan bererti harapan untuk menjadi juara piala dunia 2010 akan terkubur dalam-dalam, nasippp…

Maf, maf ya cuma mau ngomong “kalo Argentina menang? ya wajar kan tenaga kuda, nah kalo kalah? Ya iyalah masa kuda main bola! Parah.com). mbak Dewi yang sedari tadi duduk kalem nonton sambil menikmati pepaya akhirnya buka suara  “Jagoanmu yang mana Neng?”. Itu lho yang no 8 dan 11. “Yang itu? Ya ampyun emang apa gantengnya?” tanyanya heran. Walah byunge’ Ozil kalo lagi biasa ganteng mbak’yu itu tadi ekspresi kurang senang sampai mata belo’ nya hampir keluar dan jatuh (*mata kodok kataku, maf ya Ozil cayang). Meskipun belo’ tapi tetap jadi yang tersayang di hatiku. Di prediksikan bahwa Ozil adalah bintang Jerman selanjutnya. Hebattt!!!

Pertandingan babak kedua dimulai. Makin seru karena berkali-kali Argentina menembak bola dan hasilnya tidak masuk (*kasian). Permainan Jerman makin bagus skor saat ini 3-0, huuhhhuuhhh makin cinta dech sama Jerman. Rupanya mereka main apik seperti pertandingan lalu melawan Inggris dengan skor akhir 3-1. Jerman memang is the best nda pake mbelgedes.“geregetan duch aku geregetan!” lagu milik sherina menjadi soundtrack di malam ini, dinyanyikan langsung oleh Mbak Seli (*lumayan, meski suara sedikit bagus J). Mbak Mico nampaknya kecewa dengan Argentina, sekarang ia lebih konsen ke laptopnya.

Tuhan sungguh baik. Ia mengabulkan doaku. Jerman menang telak dengan skor 4-0. Wah hatiku berbunga-bunga, senyum merekah indah seperti bunga raflesia yang tumbuh di Bogor (*bunga bangkai tho?). Pertandingan ditutup dengan rasa kecewa Maradona. Namun bagi Jerman ini adalah pembuktian bahwa mereka layak untuk menjadi juara piala dunia 2010. Ya we will see next time, who is the winner ok?

*Yayank Ozil dan Pappy Klose maju terus, pantang pulang tanpa membawa piala dunia. Ok? Doaku menyertaimu. Amin…

Kost Hantu...

0 komentar


Seminggu ini dikost sedang dalam ketakutan penampakan yang ngak jelas dari mana sumber hantunya. Kostku memang beragam penghuninya mulai dari kumpulan cewek-cewek muda dengan berbagai tipe, hingga nenek-nenek yang tak menapak tanah. Hiyyyy syerem banget! Dikost aku lah yang paling berani diantara semua, sering di panggil “dukun’nya kost” (*coz muka ku bunder kaya cincin mbah dukun). Tapi kejadian penampakan akhir-akhir ini sering membuatku takut ngak karuan, dukunnya aja takut apa lagi anak buah dukunnya ya?

Ku perkanalkan satu temanku, atin namanya karena dia lebih tua makanya kita semua memanggilnya dengan sebutan “Mbak Atin” alias “Ratu Setan” (*kasian dapet gelar yang mistis). Mbak Atin adalah cewek yang hobbinya curhat sana sini, dengan pemikiran yang kurang sehat (*menurut pengakuannya dia menderita skizofrenia, betul atau ngak nya ya nda tau!). Setiap curhatannya pasti dibumbui oleh hal-hal yang mistis, santet, pesugihan, hantu Ibunya, dan lain-lain lagi membuat kami yang sering dicurhati itu merinding, dan jadi parno sendiri.

Awalnya kami ngak tergganggu, biasa aja berteman akrab dan baik dengan Mbak atin karena sikapnya yang ramah, dan ringan tangan kalo sama teman dia juga perhatian dan baik. Ya meskipun kuping tebal kalo denger curhatannya di tambah dia suka teriak-teriak ngak jelas kalo lagi marah-marah sama pacarnya yang berkunjung ke sarang hantunya (*menurut pakar hantu, pusat keberadaan hantu kost ada dikamar Mbak atin).  Namun lama-lama kami lelah juga harus ketakutan setiap hari. Pernah ketika aku yasinan di kamarku yang kebetulan berdepanan dengan kamar Mbak Atin suara ku seperti hilang dan terasa tercekik ada bayangan hitam di depan sajadahku. Bukan mimpi kawan, ini nyata!

Rutinitas ngerumpi kami di kamar achie belakangan ini sibuk membahas tentang hantu, diselingi pengakuan teman-teman yang pernah tidur bareng dengan Mbak Atin yang pernah di ganggu juga oleh teman-teman yang tak terlihat. Ada berbagai versi cerita yang menyeramkan, achie mengaku kalo dia mengalami “tindihan” atau “rep-repan” ketika tidur dengan Mbak Atin. Ketika Achie sadar dari tindihannya dia ngomong ke Mbak Atin, “Iya Mbak itu tadi yang suka ikut sama saya!” jawab Mbak Atin santai. Ichhhh dech jangan ganggu! (*lama-lama terusik, dan kita mulai menjauhi dia).

Lain hal dengan yang dialami oleh cha-cha, dia mengaku mimpi buruk tentang hantu semalaman suntuk, tapi ngak bisa bangun sebelum subuh, hmmm betah juga ya mimpinya (*kalo mimpi semaleman dengan Ariel peterpan mah aku juga mau! Kalo sama hantu, ngak banget dech!). Setelah pembicaraan yang sangat panjang dan memeras otak (*kaya cucian aja diperas) akhirnya kami memutuskan untuk yasinan bersama malam jum’at besok dan sudah dapat dipastikan kalo yasinannya dilaksanakan di kamarku, karena tempatnya paling strategis kerena menghadap langsung ke kamar Mbak Atin, biar lebih afdol katanya.

Malam jum’at pun tiba, magrib mulai menjelang kami sibuk mengundang teman-teman yang lain untuk menghadiri yasianan nanti ba’da magrib. Aku dan chacha menjadi seksi konsumsi, mengumpulkan uang sumbangan lalu pergi membeli makanan cemilan yang akan kami makan setelah acara yasinan nanti (*persis pengajian di masjid-masjid). Magrib pun tiba, semua sudah disiapkan sehabis solat magrib semua anak berkumpul dikamarku. Ketika kami mau mulai datanglah “Mas Nopen” (*pacar Mbak Atin) dia bertanya “Wah mau yasinan ya? Ikut dong?” mau bagaimana lagi akhirnya kami persilakan dia ikut yasinan bersama kami, meski dia hanya lelaki sendiri, alhasil dialah yang kami tunjuk untuk jadi imam dalam acara yasinan ini. “Dah dimulai aja mas langsung!” ucapku member aba-aba untuk teman-teman yang lain untuk bersiap.

Acara yasinan berjalan lancar, tak lupa kami membuat air doa selama yasinan yang nanti akan kami masukan ke dispenser milik mbak atin, biar insyaf katanya hahahhaa ada-ada ajach (*kalo air doa untuk badan biar langsing ada ngak ya?). Suasana menegang (*kaya diruang sidang aja) ketika penyakit “sedikit gila” Mbak Atin kambuh. Selesai kami yasinan terdengar gaduh dari kamar Mbak Atin jelas terdengar suara kaca yang pecah, entah terbentur apa. Kumpulan mukena mukena putih merapat ketakukan “Mbak Atin ngamuk lagi kan?” celetuk nimas (*salah seorang anggota kost yang terkenal paling alim) “sssttttt.. ntar Mbak Atin nya denger lho!” kataku.

Mas Nopen keluar dan menuju ke kamar Mbak Atin, mereka bertengkar. Banyak kata-kata kurang mengenakan di dengar dari kamar, mulai A sampai Z, eh bawa-bawa kebun binatang pula. Ya kami hanya berharap suasana akan mereda. Apa salah kami? Kami hanya merasa ketakutan akan hantu, lalu yasinan, dan berakhir dengan perang dunia (*yang keberapa ya?). satengah jam kemudian Mbak Atin dan pacarnya pergi, namun sepertinya mereka lupa menguncin pintu, hmmm kesempetan besar untuk measukan air doa ke dalam dispenser (*kaya di film-film ya? Tapi ini nyata lo!).

Kami membagi tugas, aku dan eric masuk ke dalam kamar Mbak Atin, dan yang lainnya berjaga kalau mbak atin datang. Spontan aku menangis ketakukan melihat penampakan “mister G” alias genderuwo yang bertenger di depan kamar Mbak Atin, matanya merah melotot. “Des, jangan teriak, biasa aja!” bentak achie. Biasa gimana??? Aku ketakutan setengah mati, kalo di film pasti di tambahkan dengan musik yang luar biasa menakutkan. “astagfirullah….” Spontan achie ketakutan karena dia meliahat yang sama dengan yang kulihat. Suasana makin memanas, karena anak-anak yang lain tidak bisa melihat tapi ikut merasakan ketakutannya. Sumpah memacu adrenalin yang sangat dahsyat (*lebih tegang dari pada saat menonton film keramat, hayo dah nonton blum?).

Ketika suasana mulai tenang, aku masuk ke kamar Mbak Atin bersama Eric. Sebelum masuk kami membaca ayat kursi sebanyak tiga kali untuk penjagaan, dengan cepat kami gulingkan gallon dari dispenser dan memasukan sebotol air doa ke dalamnya. Rasanya mau pingsan ketika ku lihat “mister G” menaiki punggung Eric, namun Eric tak merasakannya. Kami segera keluar setelah mengelap sedikit bekas tumpahan air dan berkumpul dengan teman yang lain dilantai bawah. Ada bekas memar merah di pundak Eric karena kejadian “mister G” tadi, ya sudahlah yang penting kan airnya sudah masuk. Kami berdoa sepenuh hati agar Mbak Atin insyaf dan menyadari semuanya bahwa ilmu hitam itu tidak baik untuk kehidupan kita, dan juga tidak baik untuk kantong, “Lho?” ya iyalah kan mahal buat beli kemenyan, kembang, dan segala macam jenisnya. Hahahhaa memang kejadian yang sangat menegangkan dan menakutkan.

Lambat kemudian suasana mencair, meski ada trauma yang tertinggal di kepalaku. Kami kembali seperti biasa nge-rumpi meskipun masih saja di warnai oleh hantu. Acara kami kemudian dilanjutkan dengan makan-makan bakso jam 11 malam, biar tambah nduuuttttt cemua. Semoga air doa itu bereaksi yang baik untuk Mbak Atin, aminnnn,,,,, 1000x ya? ^_^

Neng VS Aa, Hahahahaaaaa

0 komentar


Akhirnya aku sampai pada hubungan yang sangat serius, dua manusia menjalin cinta dengan segenap hati. Bahasa yang ada kini adalah rasa. Tuhan hendak membayar semua air mata lewat cintanya lunas tanpa kredit apalagi sampe penggadaian? Ngak mungkinlah kayanya. Janjinya seperti matahari yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru. Yang terpenting adalah kebersamaan tak kan pernah tergantikan, mangan ra mangan sing penting kumpul.

Cahya namanya, biasanya biar mesra aku panggil dia dengan ‘Aa, sesosok lelaki berusia seperempat abad dengan gigi kelinci samar terlihat dari belahan bibirnya (*Jselalu pengen ketawa kalo inget senyum kelincinya). Dia salah satu mahasiswa UNY, masalahnya dia pake maha- baru siswa jadi ya lama lulusnya! Kalo di itung pake menit kayanya kalkulator bisa nge-hang dech! Ngapain juga ngitung yang ngak jelas?

Cahya adalah sosok lelaki yang sangat baik hati, tidak sombong plus tidak rajin menabung. Namun satu hal yang paling ku suka, dia itu disiplin saking disiplinnya uang satu bulan gaji, pasti sudah habis sebelum gajian lagi… hufffttt hebat to pacarku? Oleh karena itu aku selalu mencontoh kedisiplinannya itu, dan BERHASIL uang bulananku habis dalam waktu hanya dua minggu! Alhasil setiap akhir bulan ya nda kemana-mana.. dikost aja maem nasi plus sayur sop plus tempe goreng sudah menjadi menu andalan kalo lagi nda punya uang! Hayo sapa mau belajar kedisiplinan? Aa ku lah orang yang paling tepat!

Malam tak berarti baginya, kalau bisa malam itu tak pernah ada. Semangat kerjanya membuat Aa’ tak lagi memikirkan kesehatannya. “Aa kerja gini juga untuk Neng (panggilan kesayangan Aa ke aku adalah Neng) kok, emangnya salah kalo Aa kerja untuk Neng?” katanya. “Ya ampyunnn kerjanya cie ngak salah, nyang salah ntu waktunya sayang! Kalo Aa’ sakit gimana? Terus yang ngurus ciapa? Neng juga kan yang repot? Kalo udah sakit kan ngak bisa kerja, rugi sendiri tho?” cerocos ku tanpa hiraukan raut wajah Aa yang udah mecucu (*mecucu : cemberut mode on).

Bersamanya adalah kebahagiaanku, dan berpisah dengannya adalah menawar bumi agar berhenti mengedari matahari. Kiamat. Nda akan n’ nda mungkin lah yaw! Semua yang berlalu dan yang akan datang selalu kami hadapi dengan senyuman J, ngak lupa pake air mata, mecucu, dan berlebai-lebai ria, pura-pura sedih, ngak sanggup kehilangan, saling memotivasi, saling mendukung, lengkaplah pokoknya! Komplit. Cinta Aa’ adalah paket air mata, keringat, dan motivasi merangkai mimpi masa depan dengan segenap suka duka menjadi sesuatu mudah bila bersamanya.

Aih kekasihku, hmmm gemes dech kalo lihat hidung mu bergerak-gerak persis kelinci. Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik ku lihat terus hidung dan bibirmu, rasanya dunia berhenti yank! Sumpah lucu banget! Oh jantung hatiku, biarlah aku menjadi wortel yang siap engkau makan! Perutku sakit menahan tertawa, ow manisnya kamu! Tuhan memang Maha Penyayang, memberi sesuatu yang unik dalam dirimu. Kadang menjadi berbeda dengan orang lain adalah istimewa, oleh karena itu aku menjadikanmu istimewa dalam hidupku.

Bagaimana harus ku tuliskan rasa beruntungnya aku mendapatkannya? Seorang lelaki yang hatinya setengah malaikat, coz yang setengah lagi dewa. Dari mana asalanya aku juga ngak tau. Cinta ini yang buat aku bertahan sampai pada hari ini. “kamu tak akan pernah tahu betapa aku, memuja kamu seperti ku memuja dewa cinta…” penggalan lirik lagu yang dinyanyikan oleh mulan jamela cocok banget jadi perakilan dari ungkapan hatiku yang paling dalam (*lebay.com). Mumpung masih ada dan masih hidup, masih bisa berbicara, masih bisa bercinta, masih bisa semua. Sebelum datang sakit, sebelum ngak bisa bicara, sebelum ngak punya duit (*sumpah ngak ada hubungannya sama ngak punya duit), sebelum di benci pokoknya sebelum semuanya menjadi terlambat aku ingin mengatakan padanya :

“Sayang, dengan semua kekurangan dan kelebihanku ijinkan aku terus mencintaimu, dan biarkan sisa hidupku mendampingimu…”

Kadang, sesuatu terasa sangat berharga bila ia telah tiada… makanya ku lakukan ini semua sebelum terlambat. Sebelum malam tamat digantikan fajar aku publikasikan ini di FB, coz kalo udh di baca Aa’ duluan pasti ngak boleh di upload di FB! Pokoknya, Neng dapet Aa’ itu anugrah… dan Aa’ dapet Neng juga anugrah ya? Jangan musibah!!! Hahahaaahhaaa

The End…

Buletin Update

0 komentar

Kamis, 01 Juli 2010

Surga yang Jatuh di Tanah Magetan

0 komentar






Aku putuskan untuk mencintaimu.


Sonata diantara rumput, ilalang dan bebatuan. Embun yang berderai jatuh membelai sekujur wajah. Masih beberapa kilometer lagi, akan kubawa engkau menyinggahi hijaunya dedaunan dan wanginya bunga-bungaan surga. Kita bisa mendengar bisikan ikan-ikan di sungai sejernih awan. Melagukan hari-hari yang telah lalu diiringi merdunya air yang jatuh di atas batu.

Aku memutuskan untuk selalu mengenangmu.

Bukit-bukit menjulang dengan ribuan pohon-pohon cemara. Ada banyak cerita yang dibawa angin dan gerimis yang datang tiba-tiba. Namun, tidak ada duka disini. Hanya kedamaian dan kebahagiaan abadi yang membuat siapapun akan selalu merekahkan senyum. Melihat eloknya telaga sarangan adalah penawar luka. Disini kita akan selalu diingatkan untuk satu hal. Cintailah seseorang. Berkorbanlah untuknya, bukan karena kamu ingin meninggalkannya, namun karena dunia tak pernah memberikan waktu abadinya pada kita.

Mengunjungi telaga sarangan, adalah melihat pengorbanan dua orang yang saling mencintai menebus segala kesedihan. Kyai Pasir dan Nyai Pasir setelah memakan telur yang mereka temukan di tengah-tengah hutan, tiba-tiba menjelma sepasang naga, yang kemudian menjadi simbol cinta dan pengorbanan. Mitos itu sampai sekarang mungkin masih ada dan abadi di bawah birunya telaga sarangan. Cinta disini adalah ritual, upaya dalam meruwat ingatan agar tidak lupa mengenai siapa kita.

Telaga sarangan merupakan hilir. Segala kesedihan senantiasa di larung di sini. Berjalan mengikuti sungai dengan air yang jernih dan terasa dingin, akan membawa kita menemukan sebuah surga yang terlupakan. Kabut tipis berarak menyapu ujung sebuah bukit. Langit menjadi putih, kegegalapan menjadi begitu damai dirasa.

Magetan. Kota kelahiran, dan kadang aku tak percaya pernah lahir disana. Jauh dari telaga ini, banyak pedih yang menyayat-nyayat. Banyak impian yang hanya menjadi alas pembersih kaki. Begitu susah mendapatkan kedamaian di luar. Padahal di sini, bahagia melimpah ruah yang tak akan habis direguk jutaan jiwa.

Dengan langkah ringan, dan tangan yang masih berpegang, kami menikmati kaki kami melangkah pelan menyusuri tanah, menyusuri jalanan setapak yang mulai menanjak. Siang merambat, hingga hampir sore. Namun, udara tetap dingin. Matahari hanya menjadi pemanis siang itu, panasnya tak mampu menembus jejeran pinus dan cemara.

Suara air mengalir membelah bebatuan, menimbulkan komposisi nada yang harmonis. Sesekali kami berhenti, melipat celanan dan menjulurkan kaki ke dalam anak-anakan sungai. Air yang mengalir di sela-sela jari kaki menjadi obat lelah yang mujarab. Tak ada ruginya setelah sampai di telaga melanjutkan perjalanan mendaki ke perkampungan di sekitar air terjun. Di sana, wangi sate kelinci dan wedang jahe membaur diantar bau tanah basah dan senyum ramah warga.

Teruslah berjalan. Menyusuri tanah dengan lading-ladang sayur yang tumbuh subur. Jika waktu panen tiba, diperbolehkan untuk membeli langsung dari petani yang orang-orang dusun. Belilah dengan arif, meskipun mereka tak pernah menaikkan harga sayuran setinggi tengkulak, bayarlah dengan pantas. Di sana kedamaian adalah cinta antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan hutan.

Tepat di ujung jalan setapak. Langkah kami berhenti. Bukan karena lelah, tapi kami menemukan keindahan yang susah kami ceritakan. Di depan menjulang air terjun yang bergemuruh, lembut namun terasa keperkasaannya. Kami biarkan momen ini terekam indera kami. Menjadikan semua abadi di perjalanan kami yang singkat. Kami rasa ini adalah surga di tempat kelahiranku yang ku benci. Melihat semuanya mulai bernyanyi, membuat hati kecil kami menyala bahagia. Kami percaya surga kecil ini memberikan semua cintanya buat kita semua. Lantas, kenapa kita pelit memberikan cinta dan pengorbanan untuknya?


Nb: cerita ini mengenai telaga Sarangan yang berada di kaki gunung Lawu. Untuk kesana dapat diakses melalui dua arah. Arah Timur, dari terminal pertigaan terminal bis Maospatih Magetan menuju ke arah Kota Magetan yang menempuh jarak 12 kilometer, sesampainya di jantung Kota Magetan perjalanan dilanjutkan mengikuti penunjuk jalan menuju Sarangan, dari sini perjalanan menempuh jarak 17 kilometer hingga sampai di Wisata Telaga Sarangan.

Sedangkan dari arah barat, rute perjalanan adalah dari jalur Karanganyar, Solo, melewati terminal bis Tawangmangu perjalanan naik menuju Cemoro Sewu Gunung Lawu, kemudian turun dan sampailah di Wisata Telaga Sarangan. Jarak tempuh jalur dari arah barat, Tawangmangu-Sarangan, ini adalah 15 kilometer.

ke Blora...

0 komentar

“Ini matahari! Ini Matahari!”
matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu sendiri.
(Sapardi)

Rasa kantuk belum juga hilang, dua kota lewat begitu saja di luar kaca jendela yang berembun. Solo dan Purwodadi berlalu bersama angin bulan Oktober, aku masih terlena dalam empuknya kursi bis. Malam menjelma bayang-bayang dengan cadar terhitam yang pernah kulihat, lalu tiba-tiba dia menghipnotisku. Aku rindu matahariku-Suryaku…
“Ahmed, lihat… Srengengge (matahari) menyambut kita.” Ujar Mas Guh, sambil menggoyang-goyangkan badanku dan menunjukkan jari telunjuk ke arah Timur di balik kaca bis.

Lantas, seluruh rasa letih lenyap, rasa kantuk hilang dan berganti rasa takjub luar biasa. Matahari bulat penuh serta terbakar, memerah oleh hari-hari lalunya yang berubah jadi abu, lalu muncullah hari baru itu. Kegusaran selama perjalanan juga lenyap, entah kemana. Matahari itu menginggatkan aku pada mustika.

Cahayanya berpendar merekah, merengkuhi bayang-bayang pohon jati yang gundul ditinggal pergi daun-daunnya. Sisa embun menetes diantara jari-jari daun dan rumput yang subur di ketiak sawah. Ladang-ladang jagung mengguning di bawah lautan biru dihiasi benik-benik awan seputih salju. Lalu aku teringat pada perempuan itu, dimana cinta ini aku berikan setulus hati. Dia juga yang mejelma matahari dalam hari-hari gelapku.

Terlalu banyak yang menjadi jelas bagiku: kini aku tidak lagi berurusan dengan hal itu. Tidak ada lagi segala yang hidup yang aku cinta. Selain perempuan itu dan diriku sendiri tentunya. Ya! Aku ingin hidup yang aku inginkan atau tidak hidup sama sekali. Aku datang ke Blora ini bersama Mas Guh, dan tentu saja perjalanan ini tidak sia-sia.
Orang desa yang berlalu lalang dengan ontel tersepuh karat—keemas-emasan, melambaikan tangan kepada sesama. Andong lewat dengan membawa sayur-sayuran yang masih segar, dan ibu-ibu yang hendak ke pasar. Ladang jagung menghampar menjadi karpet kuning dalam beranda horizon yang tak terbatas. Aku igat lukisan yang dibawa Mas Guh dari Jogja. Sapuan warna hijau dan biru tua tanpa merefleksi suatu ojek. Lukisan itu hanya sebuah garis lurus yang menurutku sebuah horizon, dengan warna hitam coklat tua yang menjadi batas antara langit dan bumi.

Matahari, memberikan seluruh cahayanya melewati rumah-rumah panggung yang berdinding kayu dan beralas tanah, menyibak daun-daun kering menggunung di tanah yang merekah. Penggambaran utuh tentang kesemestaan sekaligus wujud titik paling dalam yang mendiami seluruh jiwa manusia. Inilah yang diingikan oleh manusia yang paling suci. Atau inikah yang aku inginkan dalam setiap perjalananku?

“Sial—masihkah aku memiliki tujuan? Sebuah tempat berlabuh bagi layar-ku? Hanya angin yang baik inilah satu-satu yang tahu kemana aku pergi dan dimana malam yang jujur yang akan menjadi mantel bagiku. Apa yang tersisa untukku? Satu hati yang letih dan tak menentu, kehendak yang gelisah, sayap-sayap yang lemah, dan tulang punggung yang patah.”

Aku disambut Surya, dialah harapanku satu-satunya, tempatku untuk merindukan sesuatu. Surya-lah yang menjadi guru dalam pengelanaan tanpa akhir, sekaligus sesuatu yang selalu aku pandang dari sudut di bumi yang berbeda selama perjalananku. Lalu, aku hanya ingin memandang Surya yang berwarna hitam—mungkin dari suatu tempat yang belum aku singgahi. (Blora, 09/10/2007)

Rabu, 30 Juni 2010

Menunggu Ombak Terakhir

0 komentar


Sore. Aku lupa memangil namamu. Senja hampir larut hendak mengakhir kisahnya hari ini. Dari seberang samudera, sepertinya hanya tangis yang terbawa oleh angin. Kesedihan yang berlarat-larat, bergulung-gulung diantara pasir dan debur. Hendak kuterjemahkan sendiri air mata yang jatuh dari sudut relung itu.

Ya, kami datang ke pantai ini memang hendak membaca puisi, menulis, menerjemahkan isyarat dari pasir-pasir dan kapal-kapal nelayan yang tersandar bagai patung menunggu datangnya musim panas. Ombak selalu datang mengabarkan tentang keabadian yang ada di bawah palung. Dimana waktu mampu berhenti berdetak, matahari menghilang dari peredaran. Disana, kisah cinta akan setegar karang, selembut gelombang pasang. Namun, kami masih saja mempertanyakan arti mencintai. Arti memberi dan menerima.

Setelah melalui perjalanan yang terik, menyusuri ujung utara jalan Bantul dan berakhir di wilayah Samas, kami sampai pada pantai dengan pasir yang lembut. Dengan ombak yang lebih banyak bernyanyi serta menari mengikuti irama hati, daripada menjadi deburan-deburan yang terasing. Jangan datang dengan perasaan gundah, saranku. Datanglah dengan hati yang berbunga-bunga. Jika tidak ada cinta yang membuat kita bahagia. Datang dan bawa uang, belilah cinta di warung-warung yang hampir roboh di sana. Perempuan-perempuan jelita akan dengan senang hati memberikan cintanya untukmu.

Entah kenapa tiba-tiba kami datang berziarah ke pantai samas ini. Pantai yang tak seramai Parangtritis atau Parangkusuma ini seperti membongkar seluruh imajinasi, melengkapi petilan-petilan inspirasi yang tercecer oleh waktu saat menghadapi pikuknya jogja. Kami datang kesana dengan cinta. Dan berharap menjumpai senja yang melukis perjalanan hidup kami. Kami datang tidak sendiri, berharap menemukan gulungan ombak terakhir dan menemukan tempat dimana waktu menjadi abadi.

Catatan: Pantai Samas adalah pantai yang terletak di Desa Srigading, Sanden, Bantul atau sekitar 24 km selatan Yogyakarta. Pantai Samas terkenal dengan ombaknya yang besar, delta-delta sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Oleh Sub Dinas Perikanan Propinsi DIY, telaga-telaga tersebut digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu dan udang galah serta untuk lokasi pemancingan. Di pantai ini, sering diadakan ritual keagamaan oleh masyarakat Yogyakarta seperti Upacara Kirab Tumuruning Maheso Suro dan Labuhan Sedekah Laut. Pantai Samas berbatasan dengan Pantai Patehan di barat dan Pantai Parangtritis di timur. Selain ombaknya yang besar, pantai Samas terkenal dengan angin lautnya yang kencang dan bibir pantai yang curam serta pantainya yang berpasir putih. (Wikipedia)

Selasa, 29 Juni 2010

Hamparan Peta Penuh Darah

0 komentar

Oleh: Achmad Soeparno Yanto


“Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini... ”

***
Awal musim ini menghadirkan angin dengan aroma cemara yang basah. Membuatmu takjub, pada butiran air diantara daun dan ranting, diantara rumput dan ilalang. Ada janji yang kau kekalkan pada bukit ini. Tentang kisah yang kau rangkum bersama simfoni hutan kala senja dan senandung air terjun yang menderas, nyanyian yang mengiris-iris seluruh sanubari menjelang timbulnya pelangi. Demikianlah, jalan hidupmu tiba-tiba berbatu, tanah yang tergores dari luka yang kau toreh. Kau rajut serat-serat masa silam dalam sumpah serta kutukan yang tumbuh bersama akar-akar pohon ini.

Masih kau simpan di saku celana—entah yang mana—sebilah pisau yang selalu kau asah ketika adzan Magrib menjelang. Telah aku saksikan sendiri, ketika pisau itu merobek dan menyayat mozaik hidupmu. Saat itu langit mendung, kabut turun dengan merapalkan ayat-ayat doa, suara orang-orang mengaji tiba-tiba membuatmu termenung, dan tersadar. Di belakang bukit ini, kau selami hati perempuan itu, dan kau tinggalkan benih-benih mimpi tepat di cerung antara telinga dan matanya. Dia terluka, namun entah kenapa, juga begitu bahagia.

Kau punya alasan sendiri untuk semua ini, tentunya. Dan aku telah menduganya sejak awal. Sejak pesan berkelebat bersama burung-burung sriti, dan berlompatan dengan lutung . Juga dalam pandangan mata, pada ucapanmu kepada setiap orang-orang desa. Aku juga sudah membacanya lewat isyarat burung-burung yang menggigil, cuaca yang mendesis serta kawat-kawat listrik yang mendingin. Percakapan ini hendak kau bawa pada perpisahan bukan?

Perempuan itu datang kala petang, setelah selesai mencari kayu bakar di hutan. Berdiri sendirian di beranda depan rumahmu. Sementara nenekmu belum pulang dari hutan, kandang-kandang kosong karena ditinggal merumput hewan-hewan ternak ke tanah lapang. Dengan pisau itu kau keluar menemuinya. Diam-diam perempuan itu mengucurkan kenangan ke dalam cangkir kopimu. Perempuan itu memang telah datang, namun, dia hanya diam. Barangkali dia sudah tahu tentang riwayat perpisahannya.

Adakah yang hendak kau tawarkan untuknya. “Apalagikah yang harus aku lakukan untukmu?” Katamu. Mulutmu kemudian terkunci. Kau reguk kopi itu hingga tandas. Kau sisakan kenangan, itu pun berubah jadi beban di lidahmu.

Perempuan itu terus saja diam seperti pualam. Dalam kegelisahan, aku mulai bisa menebak isi pikiran mereka. Hati mereka pun saling menatap, mengantar percakapan yang diam. Surup merambati bukit dan menyergap sepasang siluet yang masih menunduk di sebuah kursi. Sedangkan kata-kata hanya akan berkejaran dengan kenyataan, hanya akan menghadirkan lalu memusnahkan. “Apa yang dapat kita selesaikan, dengan percakapan yang hanya sekejap?” perempuan itu masih diam, namun kedua matanya telah lebih dulu menelusuri lorong-lorong hati sosok bayangan yang lelah sekaligus kesepian.

***
Cuaca kelabu yang kubaca dari lipatan batu. Kau datang dari kota penuh kabut beberapa hari lalu. Menagih kenanganmu bersama perempuan yang lama melumut di sudut bukit ini. Aku pikir kau sudah tahu sejak lama, tentang pernikahan perempuan dengan seorang anak wakil camat sebulan silam. Bahkan, aku juga sempat menitipkan kabar bahagia ini bersama angin pada musim kemarau lalu. Pernikahan yang begitu megah, karena berlangsung selama tujuh malam dan tujuh siang, sekaligus menjadi pernikahan yang sakral karena dilangsungkan di puncak Gerojokan Sewu dalam tata adat yang ketat.

“Hendak aku genapkan cuaca padanya, pada kepulanganku kali ini.”

Perempuan yang malang, dia telah berusaha menunggumu. Memandang jauh ke langit di ufuk paling ujung, berharap mampu menafsirka peristiwa-peristiwa. Namun, kebosanan akhirnya datang juga. Kesunyian sekaligus kelelahan merambati seluruh urat nadinya. Udara yang sepi namun basah telah menikam setiap jengkal mimpinya. Beratus bahkan mungkin ribuan surat, coba ia kirim pada alamatmu di kota penuh kabut itu. Namun, tak juga surat itu berbalas. Surat-surat itu hanya melahirkan kengerian baru baginya, membentuk senandung sunyi yang abadi.

Kepulanganmu terlambat. Sia-sia jika kau coba nyalakan kembali pelita itu, udara sudah begitu beku. Kenangan, hanya sedikit yang kau pahami tentangnya. Selebihnya kembali senyap, tak ada yang bisa kau sampaikan pada perempuan itu. Perempuan yang telah mencintaimu sejak masa kanak-kanak. Bahkan, sejak masih dalam rahim ibunya. Matahari telah menjadi padam di dadanya, seperti daun-daun yang kembali berguguran, berserak pada tanah—peta kita yang menjadi fana dan kering.

Dengan keberanian yang ada, kau datangi rumahnya. Menemui perempuan itu dan suaminya. Kau salami keduanya, ketika mereka menyilahkanmu duduk di kursi ruang tamu. Rumah yang besar, dengan halaman yang luas serta dipenuhi bunga-bunga gunung dan ilalang-ilalang hias. Sebuah air terjun buatan selalu bergemiricik di sudut taman, dengan ikan warna-warni saling berkejaran. Di sini kau tampak begitu anggun, begitu indah bersanding dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kau ceritakan pada mereka tentang layatanmu ke negara-negara yang letaknya jauh menyeberangi benua demi benua. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain, hingga kau bertemu dengan seorang tua Amerika dan terdampar di benua megapolitan itu. Seorang tua yang akhirnya mengantarkanmu menjadi nelayan lintas benua yang tangguh. Aku senang mendengarkannya, namun aku juga begitu sedih. Telah kau coba belajar menumbuk luka, dari desiran angin dan deburan ombak yang ganas. Hendak kau rangkum seluruh getir dan pesona cinta dalam peta, yang akan kau persembahkan pada perempuan.

“Bahagiakah engkau disini bersama suami yang tidak kamu cintai?” Katamu.

Kau amukkan badai di hati perempuan itu, setelah sempat kau curi senja yang melekat indah di alis matanya. Perempuan itu bimbang. Pagi yang kelam dari keluasan cakrawala hatinya telah berkali-kali membuatnya berduka. Matanya berkaca-kaca, terangkum dengan jelas jejeran masa silam. Namun, karena itulah perempuan menguntai bunga-bunga untuk waktunya yang tersisa. Kau pun bergegas pergi dari rumah itu. Sempat kau tawarkan sebuah nama untuk anakmu kelak, nama yang menginggatkannya pada sosok tua di benua Amerika sana, nama yang singkat—Rafael.

***
Masih sempat kau memandang luar, sebelum menutup pintu rumahmu. Dalam siang yang mulai meremang, masih saja kau berharap kedatangan perempuan. Tapi yang tampak di depan rumah, hanyalah sebuah pohon nangka yang besar, dengan daun-daun yang rimbun. Umurnya telah genap 50 tahun ini dan men julang hingga tujuh meter. Kau buru-buru mengambil pisau dari sakumu. Pisau yang sudah kau anggap bagian dari dirimu. Di belakang rumahmu itulah, kau kemudian mengasahnya. Menikmati suara yang keluar dari gesekan mata pisau dengan batu asah. Sesekali kau membayangkan, mata pisau yang dingin ini menyentuh urat lehermu.

“Kepasrahan adalah daun-daun yang basah dibanjiri embun. Kenyataan melukai mata dan nyeri mengiris nadi serta jantung.” Kau menyenandungkannya diantara suara adzan yang mulai mengema di lembah dan ladang-ladang sayur.

Tidak kau sadari, seorang perempuan telah menunggumu lama di beranda depan rumah, mendengarkanmu mengasah pisau. Sebuah senyum paling manis merekah, menunjukkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. Tangan kirinya memegangi leher yang indah dan nampak berkilau di balik rambutnya yang hitam bergelombang. Umurnya belumlah genap 20 tahun. Namun, nampak lebih tua dalam penantian-penantian panjang. Dalam sebuah waktu, aku menemukan gairah hidupnya yang berserak.

Dia ragu untuk mengetuk pintu rumah itu. Tugur memandang ukiran pintu, tampaknya dia sudah punya rencana, dan berharap takkan sia-sia. Inilah perjalanan terakhir sisa hidupnya, perjalanan bagi kenangan sekaligus selamat tinggal yang indah. Perempuan itu sama sekali tidak terlihat kesal dan takut, menunggumu mengasah pisau. Bisa kurasakan sekarang, beranda rumah ini tiba-tiba menjadi beku lantas sunyi.

Barisan pot bergantung dengan bunga-bunga anggrek merah ataupun putih yang merekah diam, asbak rokok yang ada di meja, lengkingan suara hewan-hewan nocturnal, petang ini seakan-akan lenyap dari kepalamu. Tik tak detik jam tidak terdengar suaranya lagi. Sekejap tanah dan langit merasuk, dan bersemayam di jantung perempuan itu. Inilah ekstase yang tiba-tiba timbul setelah penantiannya yang panjang berakhir dan kau masih khusyuk mengasah pisau.

“Ya, inilah saat yang sungguh kunantikan. Karena aku sangat mencintaimu, melebihi apapun.” Suara perempuan itu bergetar mempesona.


***
Ya, akulah periwayat itu. Meruwat waktu serta kenangan yang ada dalam cuaca. Aku masih berdiri kokoh di depan rumahnya, memandang beranda sekaligus senja. Mengkabarkan pada angin, dan selalu menanti berita dari burung-burung. Sekedar mencoba menghibur perempuan yang telah setia menantimu di puncak bukit itu. Akulah yang selalu mengusik hati perempuan melalui angin dan musim. Mengusir gelisah yang mampu meredupkan matanya. Mengisi kekosongan di sudut jantungnya. Disinilah, ya di depan beranda rumah ini aku bersemedi, hingga berlumut luput dari senja dan kembara waktu.

Perempuan jelita itu tak sanggup menyakiti hatimu. Telah ia persembahkan sepenuhnya usia. Sebagai karma atas takdir yang telah ditiupkan melalui tabir adzan di telingga kanannya. Sungguh, telah ia coba untuk setia. Melawan waktu yang tiba-tiba saja berlari di hadapannya. Tak sanggup ia hidup tanpamu, lelaki yang telah menanam benih mimpi di sekujur ingatannya. Ingin ia salahkan aturan adat di desa ini, aturan yang menjadi sebuah jeruji yang tak mampu ia tembus. Aturan yang mengharuskan anak-anak perempuan untuk menikah sebelum genap 20 tahun. Namun, ia tak sanggup. Mendengar kau mengasah pisau di belakang rumah, perempuan itu hendak menyapamu. Sekedar mengucapkan kata selamat tinggal, tapi sudah tak mampu.

Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini. Hamparan peta yang mendamparkanmu di selat paling ujung sebuah benua, dengan petang yang datang mendera bagai hujan ketika kau mengingat perempuan itu telah mati bersimpah darah di depan beranda rumahmu. Kau menjadi lupa, mengasah pisau itu untuk siapa.


Yogykarta, [....]

Jangan Menjadi Ragu di Sini!

0 komentar

Pelajaran berharga saat mencoba mendaki bebatuan gunung ini adalah jangan menjadi peragu. Ragu-ragu menentukan arah saat memilih jalan, ragu-ragu untuk berhenti dan menikmati nyanyian burung-burung, serta merasakan desiran angin yang menyerupai sonata diantara rumput dan ilalang. Menjadi manusia ragu-ragu disini, hanya akan membuat kita tidak menjadi siapa-siapa. Bahkan, tragisnya kita tidak akan menikmati pesona eksotik gunung yang mitosnya masih satu rangkai dengan Merapi.
Sepanjang jalan, adalah pesona ilahi yang tak terceritakan. Bagaimana angin berhembus lembut, tanah yang lembab karena dipayungi ribuan cemara dan akasia. Serta sesekali merasakan sedikit kehangatan dari cahaya yang terpancar melalui lubang-lubang daun. Kami biarkan semua indera kami aktif dan merekam segala fragmen menjadi abadi, di umur kami yang singkat.
Batu-batu raksasa yang menjulang tinggi, menjadi pemandangan menggagumkan. Jika saja aku mampu menerjemahkan guratan dan goresan pada batu itu, mungkin aku bisa membayangkan bagaimana manusia memaknai keindahan. Menjalani hidup. Menikmati segala kebahagiaan yang datang padanya dan mencoba menghindar jika sampai pada masalah-masalah. Di sini adalah pelarian, namun disini juga tempat yang mengajarkan kami untuk tidak menjadi manusia peragu.
Perjalanan mendaki memang lumayan berat. Tapi, segala pesona yang terhampar adalah obat mujarab melawan kelelahan. Menziarahi satu batu, ke batu lain yang lebih tinggi menjadi ritual baru dalam menyembah keindahan gunung ini. Dari celah paling sempit di sebuah tebing, rasa-rasanya egoisme kami hanyut dalam sebuah pusara.
Saat jalan berbelok 90’ dan kemudian tiba-tiba menanjak turun, kami biarkan naluri kami menemukan sendiri padang bunga-bunga tempat dimana segala kebahiagaan bermuara. Disini keragu-raguan kami diuji. Apakah akan mengikuti kehendak emosi, terus memanjati batu-batu yang menjulang, atau membiarkan diri kami dituntun oleh naluri dengan segala kebahagiaan menjali seorang pejalan? Kami putuskan untuk membiarkan diri kami hanyut dalam jalan setapak yang ditimbuni daun-daun kering.
Kami sampai pada sebuah kampung kecil yang terkurung oleh hutan. Terpencil sendirian, seperti sosok orang tua yang duduk terpaku menyaksikan matahari tenggelam. Inilah ternyata lembah kebahagiaan itu, orang-orang santun menyapa saat hendak pergi mencari rumput. Rumah-rumah berdiri dengan sekedarnya sejompo orang-orang yang ada. Tidak banyak pemuda yang lalu lalang, karena saya yakin para pemuda disini sudah hijrah mengejar mimpi-mimpi mereka di kota untuk merasakan keindahan semu peradapan.
Di sebuah pematang dengan air sebening embun, mengalir meliuk membawa bunga-bunga liar ke desa seberang. Kami duduk. Di atas gunung, terlihat dengan jelas sebuah batu besar seakan berdiri merekam segala perubahan yang terjadi sepanjang zaman. Dialah puncak sebenarnya, meski kami tidak sempat menziarahinya, tapi kebahagiaan kami sebagai manusia yang selalu berjalan mencari kedamaian cukup untuk hari ini. Karena kami masih bisa menyaksikan pesona gunung Nglanggeran atau merapi purba ini.

__________
NB: Catatan ini merupakan cerita (dari perspektif pribadi) mengenai Gunung Nglanggeran yang terletak di desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk kabupaten Gunungkidul. Gunung ini berada dikawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl dengan suhu udara rata-rata 23˚ C – 27˚ C, jarak tempuh 20 km dari kota Wonosari dan 25 km dari kota Yogyakarta. Ada 2 jalur jalan untuk menuju Objek Wisata ini melalui jalan aspal yang mulus, jika dari arah Wonosari kita melewati Bunderan Sambipitu, ambil kanan arah ke dusun Bobung/kerajinan Topeng, kemudian menuju Desa Nglanggeran ( Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ). Jika dari arah Jogjakarta: Bukit Bintang Patuk, Radio GCD FM belok kiri kira-kira 7 KM ( arah desa Ngoro-oro lokasi stasiun-stasiun Transmisi ), menuju desa Nglanggeran (Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ).