Selasa, 29 Juni 2010

Jangan Menjadi Ragu di Sini!

0 komentar

Pelajaran berharga saat mencoba mendaki bebatuan gunung ini adalah jangan menjadi peragu. Ragu-ragu menentukan arah saat memilih jalan, ragu-ragu untuk berhenti dan menikmati nyanyian burung-burung, serta merasakan desiran angin yang menyerupai sonata diantara rumput dan ilalang. Menjadi manusia ragu-ragu disini, hanya akan membuat kita tidak menjadi siapa-siapa. Bahkan, tragisnya kita tidak akan menikmati pesona eksotik gunung yang mitosnya masih satu rangkai dengan Merapi.
Sepanjang jalan, adalah pesona ilahi yang tak terceritakan. Bagaimana angin berhembus lembut, tanah yang lembab karena dipayungi ribuan cemara dan akasia. Serta sesekali merasakan sedikit kehangatan dari cahaya yang terpancar melalui lubang-lubang daun. Kami biarkan semua indera kami aktif dan merekam segala fragmen menjadi abadi, di umur kami yang singkat.
Batu-batu raksasa yang menjulang tinggi, menjadi pemandangan menggagumkan. Jika saja aku mampu menerjemahkan guratan dan goresan pada batu itu, mungkin aku bisa membayangkan bagaimana manusia memaknai keindahan. Menjalani hidup. Menikmati segala kebahagiaan yang datang padanya dan mencoba menghindar jika sampai pada masalah-masalah. Di sini adalah pelarian, namun disini juga tempat yang mengajarkan kami untuk tidak menjadi manusia peragu.
Perjalanan mendaki memang lumayan berat. Tapi, segala pesona yang terhampar adalah obat mujarab melawan kelelahan. Menziarahi satu batu, ke batu lain yang lebih tinggi menjadi ritual baru dalam menyembah keindahan gunung ini. Dari celah paling sempit di sebuah tebing, rasa-rasanya egoisme kami hanyut dalam sebuah pusara.
Saat jalan berbelok 90’ dan kemudian tiba-tiba menanjak turun, kami biarkan naluri kami menemukan sendiri padang bunga-bunga tempat dimana segala kebahiagaan bermuara. Disini keragu-raguan kami diuji. Apakah akan mengikuti kehendak emosi, terus memanjati batu-batu yang menjulang, atau membiarkan diri kami dituntun oleh naluri dengan segala kebahagiaan menjali seorang pejalan? Kami putuskan untuk membiarkan diri kami hanyut dalam jalan setapak yang ditimbuni daun-daun kering.
Kami sampai pada sebuah kampung kecil yang terkurung oleh hutan. Terpencil sendirian, seperti sosok orang tua yang duduk terpaku menyaksikan matahari tenggelam. Inilah ternyata lembah kebahagiaan itu, orang-orang santun menyapa saat hendak pergi mencari rumput. Rumah-rumah berdiri dengan sekedarnya sejompo orang-orang yang ada. Tidak banyak pemuda yang lalu lalang, karena saya yakin para pemuda disini sudah hijrah mengejar mimpi-mimpi mereka di kota untuk merasakan keindahan semu peradapan.
Di sebuah pematang dengan air sebening embun, mengalir meliuk membawa bunga-bunga liar ke desa seberang. Kami duduk. Di atas gunung, terlihat dengan jelas sebuah batu besar seakan berdiri merekam segala perubahan yang terjadi sepanjang zaman. Dialah puncak sebenarnya, meski kami tidak sempat menziarahinya, tapi kebahagiaan kami sebagai manusia yang selalu berjalan mencari kedamaian cukup untuk hari ini. Karena kami masih bisa menyaksikan pesona gunung Nglanggeran atau merapi purba ini.

__________
NB: Catatan ini merupakan cerita (dari perspektif pribadi) mengenai Gunung Nglanggeran yang terletak di desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk kabupaten Gunungkidul. Gunung ini berada dikawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl dengan suhu udara rata-rata 23˚ C – 27˚ C, jarak tempuh 20 km dari kota Wonosari dan 25 km dari kota Yogyakarta. Ada 2 jalur jalan untuk menuju Objek Wisata ini melalui jalan aspal yang mulus, jika dari arah Wonosari kita melewati Bunderan Sambipitu, ambil kanan arah ke dusun Bobung/kerajinan Topeng, kemudian menuju Desa Nglanggeran ( Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ). Jika dari arah Jogjakarta: Bukit Bintang Patuk, Radio GCD FM belok kiri kira-kira 7 KM ( arah desa Ngoro-oro lokasi stasiun-stasiun Transmisi ), menuju desa Nglanggeran (Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ).

0 komentar:

Posting Komentar