Kamis, 01 Juli 2010

ke Blora...

0 komentar

“Ini matahari! Ini Matahari!”
matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu sendiri.
(Sapardi)

Rasa kantuk belum juga hilang, dua kota lewat begitu saja di luar kaca jendela yang berembun. Solo dan Purwodadi berlalu bersama angin bulan Oktober, aku masih terlena dalam empuknya kursi bis. Malam menjelma bayang-bayang dengan cadar terhitam yang pernah kulihat, lalu tiba-tiba dia menghipnotisku. Aku rindu matahariku-Suryaku…
“Ahmed, lihat… Srengengge (matahari) menyambut kita.” Ujar Mas Guh, sambil menggoyang-goyangkan badanku dan menunjukkan jari telunjuk ke arah Timur di balik kaca bis.

Lantas, seluruh rasa letih lenyap, rasa kantuk hilang dan berganti rasa takjub luar biasa. Matahari bulat penuh serta terbakar, memerah oleh hari-hari lalunya yang berubah jadi abu, lalu muncullah hari baru itu. Kegusaran selama perjalanan juga lenyap, entah kemana. Matahari itu menginggatkan aku pada mustika.

Cahayanya berpendar merekah, merengkuhi bayang-bayang pohon jati yang gundul ditinggal pergi daun-daunnya. Sisa embun menetes diantara jari-jari daun dan rumput yang subur di ketiak sawah. Ladang-ladang jagung mengguning di bawah lautan biru dihiasi benik-benik awan seputih salju. Lalu aku teringat pada perempuan itu, dimana cinta ini aku berikan setulus hati. Dia juga yang mejelma matahari dalam hari-hari gelapku.

Terlalu banyak yang menjadi jelas bagiku: kini aku tidak lagi berurusan dengan hal itu. Tidak ada lagi segala yang hidup yang aku cinta. Selain perempuan itu dan diriku sendiri tentunya. Ya! Aku ingin hidup yang aku inginkan atau tidak hidup sama sekali. Aku datang ke Blora ini bersama Mas Guh, dan tentu saja perjalanan ini tidak sia-sia.
Orang desa yang berlalu lalang dengan ontel tersepuh karat—keemas-emasan, melambaikan tangan kepada sesama. Andong lewat dengan membawa sayur-sayuran yang masih segar, dan ibu-ibu yang hendak ke pasar. Ladang jagung menghampar menjadi karpet kuning dalam beranda horizon yang tak terbatas. Aku igat lukisan yang dibawa Mas Guh dari Jogja. Sapuan warna hijau dan biru tua tanpa merefleksi suatu ojek. Lukisan itu hanya sebuah garis lurus yang menurutku sebuah horizon, dengan warna hitam coklat tua yang menjadi batas antara langit dan bumi.

Matahari, memberikan seluruh cahayanya melewati rumah-rumah panggung yang berdinding kayu dan beralas tanah, menyibak daun-daun kering menggunung di tanah yang merekah. Penggambaran utuh tentang kesemestaan sekaligus wujud titik paling dalam yang mendiami seluruh jiwa manusia. Inilah yang diingikan oleh manusia yang paling suci. Atau inikah yang aku inginkan dalam setiap perjalananku?

“Sial—masihkah aku memiliki tujuan? Sebuah tempat berlabuh bagi layar-ku? Hanya angin yang baik inilah satu-satu yang tahu kemana aku pergi dan dimana malam yang jujur yang akan menjadi mantel bagiku. Apa yang tersisa untukku? Satu hati yang letih dan tak menentu, kehendak yang gelisah, sayap-sayap yang lemah, dan tulang punggung yang patah.”

Aku disambut Surya, dialah harapanku satu-satunya, tempatku untuk merindukan sesuatu. Surya-lah yang menjadi guru dalam pengelanaan tanpa akhir, sekaligus sesuatu yang selalu aku pandang dari sudut di bumi yang berbeda selama perjalananku. Lalu, aku hanya ingin memandang Surya yang berwarna hitam—mungkin dari suatu tempat yang belum aku singgahi. (Blora, 09/10/2007)

0 komentar:

Posting Komentar