Kamis, 01 Juli 2010

Surga yang Jatuh di Tanah Magetan

0 komentar






Aku putuskan untuk mencintaimu.


Sonata diantara rumput, ilalang dan bebatuan. Embun yang berderai jatuh membelai sekujur wajah. Masih beberapa kilometer lagi, akan kubawa engkau menyinggahi hijaunya dedaunan dan wanginya bunga-bungaan surga. Kita bisa mendengar bisikan ikan-ikan di sungai sejernih awan. Melagukan hari-hari yang telah lalu diiringi merdunya air yang jatuh di atas batu.

Aku memutuskan untuk selalu mengenangmu.

Bukit-bukit menjulang dengan ribuan pohon-pohon cemara. Ada banyak cerita yang dibawa angin dan gerimis yang datang tiba-tiba. Namun, tidak ada duka disini. Hanya kedamaian dan kebahagiaan abadi yang membuat siapapun akan selalu merekahkan senyum. Melihat eloknya telaga sarangan adalah penawar luka. Disini kita akan selalu diingatkan untuk satu hal. Cintailah seseorang. Berkorbanlah untuknya, bukan karena kamu ingin meninggalkannya, namun karena dunia tak pernah memberikan waktu abadinya pada kita.

Mengunjungi telaga sarangan, adalah melihat pengorbanan dua orang yang saling mencintai menebus segala kesedihan. Kyai Pasir dan Nyai Pasir setelah memakan telur yang mereka temukan di tengah-tengah hutan, tiba-tiba menjelma sepasang naga, yang kemudian menjadi simbol cinta dan pengorbanan. Mitos itu sampai sekarang mungkin masih ada dan abadi di bawah birunya telaga sarangan. Cinta disini adalah ritual, upaya dalam meruwat ingatan agar tidak lupa mengenai siapa kita.

Telaga sarangan merupakan hilir. Segala kesedihan senantiasa di larung di sini. Berjalan mengikuti sungai dengan air yang jernih dan terasa dingin, akan membawa kita menemukan sebuah surga yang terlupakan. Kabut tipis berarak menyapu ujung sebuah bukit. Langit menjadi putih, kegegalapan menjadi begitu damai dirasa.

Magetan. Kota kelahiran, dan kadang aku tak percaya pernah lahir disana. Jauh dari telaga ini, banyak pedih yang menyayat-nyayat. Banyak impian yang hanya menjadi alas pembersih kaki. Begitu susah mendapatkan kedamaian di luar. Padahal di sini, bahagia melimpah ruah yang tak akan habis direguk jutaan jiwa.

Dengan langkah ringan, dan tangan yang masih berpegang, kami menikmati kaki kami melangkah pelan menyusuri tanah, menyusuri jalanan setapak yang mulai menanjak. Siang merambat, hingga hampir sore. Namun, udara tetap dingin. Matahari hanya menjadi pemanis siang itu, panasnya tak mampu menembus jejeran pinus dan cemara.

Suara air mengalir membelah bebatuan, menimbulkan komposisi nada yang harmonis. Sesekali kami berhenti, melipat celanan dan menjulurkan kaki ke dalam anak-anakan sungai. Air yang mengalir di sela-sela jari kaki menjadi obat lelah yang mujarab. Tak ada ruginya setelah sampai di telaga melanjutkan perjalanan mendaki ke perkampungan di sekitar air terjun. Di sana, wangi sate kelinci dan wedang jahe membaur diantar bau tanah basah dan senyum ramah warga.

Teruslah berjalan. Menyusuri tanah dengan lading-ladang sayur yang tumbuh subur. Jika waktu panen tiba, diperbolehkan untuk membeli langsung dari petani yang orang-orang dusun. Belilah dengan arif, meskipun mereka tak pernah menaikkan harga sayuran setinggi tengkulak, bayarlah dengan pantas. Di sana kedamaian adalah cinta antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan hutan.

Tepat di ujung jalan setapak. Langkah kami berhenti. Bukan karena lelah, tapi kami menemukan keindahan yang susah kami ceritakan. Di depan menjulang air terjun yang bergemuruh, lembut namun terasa keperkasaannya. Kami biarkan momen ini terekam indera kami. Menjadikan semua abadi di perjalanan kami yang singkat. Kami rasa ini adalah surga di tempat kelahiranku yang ku benci. Melihat semuanya mulai bernyanyi, membuat hati kecil kami menyala bahagia. Kami percaya surga kecil ini memberikan semua cintanya buat kita semua. Lantas, kenapa kita pelit memberikan cinta dan pengorbanan untuknya?


Nb: cerita ini mengenai telaga Sarangan yang berada di kaki gunung Lawu. Untuk kesana dapat diakses melalui dua arah. Arah Timur, dari terminal pertigaan terminal bis Maospatih Magetan menuju ke arah Kota Magetan yang menempuh jarak 12 kilometer, sesampainya di jantung Kota Magetan perjalanan dilanjutkan mengikuti penunjuk jalan menuju Sarangan, dari sini perjalanan menempuh jarak 17 kilometer hingga sampai di Wisata Telaga Sarangan.

Sedangkan dari arah barat, rute perjalanan adalah dari jalur Karanganyar, Solo, melewati terminal bis Tawangmangu perjalanan naik menuju Cemoro Sewu Gunung Lawu, kemudian turun dan sampailah di Wisata Telaga Sarangan. Jarak tempuh jalur dari arah barat, Tawangmangu-Sarangan, ini adalah 15 kilometer.

0 komentar:

Posting Komentar