Oleh: Achmad Soeparno Yanto
“Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini... ”
***
Awal musim ini menghadirkan angin dengan aroma cemara yang basah. Membuatmu takjub, pada butiran air diantara daun dan ranting, diantara rumput dan ilalang. Ada janji yang kau kekalkan pada bukit ini. Tentang kisah yang kau rangkum bersama simfoni hutan kala senja dan senandung air terjun yang menderas, nyanyian yang mengiris-iris seluruh sanubari menjelang timbulnya pelangi. Demikianlah, jalan hidupmu tiba-tiba berbatu, tanah yang tergores dari luka yang kau toreh. Kau rajut serat-serat masa silam dalam sumpah serta kutukan yang tumbuh bersama akar-akar pohon ini.
Masih kau simpan di saku celana—entah yang mana—sebilah pisau yang selalu kau asah ketika adzan Magrib menjelang. Telah aku saksikan sendiri, ketika pisau itu merobek dan menyayat mozaik hidupmu. Saat itu langit mendung, kabut turun dengan merapalkan ayat-ayat doa, suara orang-orang mengaji tiba-tiba membuatmu termenung, dan tersadar. Di belakang bukit ini, kau selami hati perempuan itu, dan kau tinggalkan benih-benih mimpi tepat di cerung antara telinga dan matanya. Dia terluka, namun entah kenapa, juga begitu bahagia.
Kau punya alasan sendiri untuk semua ini, tentunya. Dan aku telah menduganya sejak awal. Sejak pesan berkelebat bersama burung-burung sriti, dan berlompatan dengan lutung . Juga dalam pandangan mata, pada ucapanmu kepada setiap orang-orang desa. Aku juga sudah membacanya lewat isyarat burung-burung yang menggigil, cuaca yang mendesis serta kawat-kawat listrik yang mendingin. Percakapan ini hendak kau bawa pada perpisahan bukan?
Perempuan itu datang kala petang, setelah selesai mencari kayu bakar di hutan. Berdiri sendirian di beranda depan rumahmu. Sementara nenekmu belum pulang dari hutan, kandang-kandang kosong karena ditinggal merumput hewan-hewan ternak ke tanah lapang. Dengan pisau itu kau keluar menemuinya. Diam-diam perempuan itu mengucurkan kenangan ke dalam cangkir kopimu. Perempuan itu memang telah datang, namun, dia hanya diam. Barangkali dia sudah tahu tentang riwayat perpisahannya.
Adakah yang hendak kau tawarkan untuknya. “Apalagikah yang harus aku lakukan untukmu?” Katamu. Mulutmu kemudian terkunci. Kau reguk kopi itu hingga tandas. Kau sisakan kenangan, itu pun berubah jadi beban di lidahmu.
Perempuan itu terus saja diam seperti pualam. Dalam kegelisahan, aku mulai bisa menebak isi pikiran mereka. Hati mereka pun saling menatap, mengantar percakapan yang diam. Surup merambati bukit dan menyergap sepasang siluet yang masih menunduk di sebuah kursi. Sedangkan kata-kata hanya akan berkejaran dengan kenyataan, hanya akan menghadirkan lalu memusnahkan. “Apa yang dapat kita selesaikan, dengan percakapan yang hanya sekejap?” perempuan itu masih diam, namun kedua matanya telah lebih dulu menelusuri lorong-lorong hati sosok bayangan yang lelah sekaligus kesepian.
***
Cuaca kelabu yang kubaca dari lipatan batu. Kau datang dari kota penuh kabut beberapa hari lalu. Menagih kenanganmu bersama perempuan yang lama melumut di sudut bukit ini. Aku pikir kau sudah tahu sejak lama, tentang pernikahan perempuan dengan seorang anak wakil camat sebulan silam. Bahkan, aku juga sempat menitipkan kabar bahagia ini bersama angin pada musim kemarau lalu. Pernikahan yang begitu megah, karena berlangsung selama tujuh malam dan tujuh siang, sekaligus menjadi pernikahan yang sakral karena dilangsungkan di puncak Gerojokan Sewu dalam tata adat yang ketat.
“Hendak aku genapkan cuaca padanya, pada kepulanganku kali ini.”
Perempuan yang malang, dia telah berusaha menunggumu. Memandang jauh ke langit di ufuk paling ujung, berharap mampu menafsirka peristiwa-peristiwa. Namun, kebosanan akhirnya datang juga. Kesunyian sekaligus kelelahan merambati seluruh urat nadinya. Udara yang sepi namun basah telah menikam setiap jengkal mimpinya. Beratus bahkan mungkin ribuan surat, coba ia kirim pada alamatmu di kota penuh kabut itu. Namun, tak juga surat itu berbalas. Surat-surat itu hanya melahirkan kengerian baru baginya, membentuk senandung sunyi yang abadi.
Kepulanganmu terlambat. Sia-sia jika kau coba nyalakan kembali pelita itu, udara sudah begitu beku. Kenangan, hanya sedikit yang kau pahami tentangnya. Selebihnya kembali senyap, tak ada yang bisa kau sampaikan pada perempuan itu. Perempuan yang telah mencintaimu sejak masa kanak-kanak. Bahkan, sejak masih dalam rahim ibunya. Matahari telah menjadi padam di dadanya, seperti daun-daun yang kembali berguguran, berserak pada tanah—peta kita yang menjadi fana dan kering.
Dengan keberanian yang ada, kau datangi rumahnya. Menemui perempuan itu dan suaminya. Kau salami keduanya, ketika mereka menyilahkanmu duduk di kursi ruang tamu. Rumah yang besar, dengan halaman yang luas serta dipenuhi bunga-bunga gunung dan ilalang-ilalang hias. Sebuah air terjun buatan selalu bergemiricik di sudut taman, dengan ikan warna-warni saling berkejaran. Di sini kau tampak begitu anggun, begitu indah bersanding dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kau ceritakan pada mereka tentang layatanmu ke negara-negara yang letaknya jauh menyeberangi benua demi benua. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain, hingga kau bertemu dengan seorang tua Amerika dan terdampar di benua megapolitan itu. Seorang tua yang akhirnya mengantarkanmu menjadi nelayan lintas benua yang tangguh. Aku senang mendengarkannya, namun aku juga begitu sedih. Telah kau coba belajar menumbuk luka, dari desiran angin dan deburan ombak yang ganas. Hendak kau rangkum seluruh getir dan pesona cinta dalam peta, yang akan kau persembahkan pada perempuan.
“Bahagiakah engkau disini bersama suami yang tidak kamu cintai?” Katamu.
Kau amukkan badai di hati perempuan itu, setelah sempat kau curi senja yang melekat indah di alis matanya. Perempuan itu bimbang. Pagi yang kelam dari keluasan cakrawala hatinya telah berkali-kali membuatnya berduka. Matanya berkaca-kaca, terangkum dengan jelas jejeran masa silam. Namun, karena itulah perempuan menguntai bunga-bunga untuk waktunya yang tersisa. Kau pun bergegas pergi dari rumah itu. Sempat kau tawarkan sebuah nama untuk anakmu kelak, nama yang menginggatkannya pada sosok tua di benua Amerika sana, nama yang singkat—Rafael.
***
Masih sempat kau memandang luar, sebelum menutup pintu rumahmu. Dalam siang yang mulai meremang, masih saja kau berharap kedatangan perempuan. Tapi yang tampak di depan rumah, hanyalah sebuah pohon nangka yang besar, dengan daun-daun yang rimbun. Umurnya telah genap 50 tahun ini dan men julang hingga tujuh meter. Kau buru-buru mengambil pisau dari sakumu. Pisau yang sudah kau anggap bagian dari dirimu. Di belakang rumahmu itulah, kau kemudian mengasahnya. Menikmati suara yang keluar dari gesekan mata pisau dengan batu asah. Sesekali kau membayangkan, mata pisau yang dingin ini menyentuh urat lehermu.
“Kepasrahan adalah daun-daun yang basah dibanjiri embun. Kenyataan melukai mata dan nyeri mengiris nadi serta jantung.” Kau menyenandungkannya diantara suara adzan yang mulai mengema di lembah dan ladang-ladang sayur.
Tidak kau sadari, seorang perempuan telah menunggumu lama di beranda depan rumah, mendengarkanmu mengasah pisau. Sebuah senyum paling manis merekah, menunjukkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. Tangan kirinya memegangi leher yang indah dan nampak berkilau di balik rambutnya yang hitam bergelombang. Umurnya belumlah genap 20 tahun. Namun, nampak lebih tua dalam penantian-penantian panjang. Dalam sebuah waktu, aku menemukan gairah hidupnya yang berserak.
Dia ragu untuk mengetuk pintu rumah itu. Tugur memandang ukiran pintu, tampaknya dia sudah punya rencana, dan berharap takkan sia-sia. Inilah perjalanan terakhir sisa hidupnya, perjalanan bagi kenangan sekaligus selamat tinggal yang indah. Perempuan itu sama sekali tidak terlihat kesal dan takut, menunggumu mengasah pisau. Bisa kurasakan sekarang, beranda rumah ini tiba-tiba menjadi beku lantas sunyi.
Barisan pot bergantung dengan bunga-bunga anggrek merah ataupun putih yang merekah diam, asbak rokok yang ada di meja, lengkingan suara hewan-hewan nocturnal, petang ini seakan-akan lenyap dari kepalamu. Tik tak detik jam tidak terdengar suaranya lagi. Sekejap tanah dan langit merasuk, dan bersemayam di jantung perempuan itu. Inilah ekstase yang tiba-tiba timbul setelah penantiannya yang panjang berakhir dan kau masih khusyuk mengasah pisau.
“Ya, inilah saat yang sungguh kunantikan. Karena aku sangat mencintaimu, melebihi apapun.” Suara perempuan itu bergetar mempesona.
***
Ya, akulah periwayat itu. Meruwat waktu serta kenangan yang ada dalam cuaca. Aku masih berdiri kokoh di depan rumahnya, memandang beranda sekaligus senja. Mengkabarkan pada angin, dan selalu menanti berita dari burung-burung. Sekedar mencoba menghibur perempuan yang telah setia menantimu di puncak bukit itu. Akulah yang selalu mengusik hati perempuan melalui angin dan musim. Mengusir gelisah yang mampu meredupkan matanya. Mengisi kekosongan di sudut jantungnya. Disinilah, ya di depan beranda rumah ini aku bersemedi, hingga berlumut luput dari senja dan kembara waktu.
Perempuan jelita itu tak sanggup menyakiti hatimu. Telah ia persembahkan sepenuhnya usia. Sebagai karma atas takdir yang telah ditiupkan melalui tabir adzan di telingga kanannya. Sungguh, telah ia coba untuk setia. Melawan waktu yang tiba-tiba saja berlari di hadapannya. Tak sanggup ia hidup tanpamu, lelaki yang telah menanam benih mimpi di sekujur ingatannya. Ingin ia salahkan aturan adat di desa ini, aturan yang menjadi sebuah jeruji yang tak mampu ia tembus. Aturan yang mengharuskan anak-anak perempuan untuk menikah sebelum genap 20 tahun. Namun, ia tak sanggup. Mendengar kau mengasah pisau di belakang rumah, perempuan itu hendak menyapamu. Sekedar mengucapkan kata selamat tinggal, tapi sudah tak mampu.
Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini. Hamparan peta yang mendamparkanmu di selat paling ujung sebuah benua, dengan petang yang datang mendera bagai hujan ketika kau mengingat perempuan itu telah mati bersimpah darah di depan beranda rumahmu. Kau menjadi lupa, mengasah pisau itu untuk siapa.
Yogykarta, [....]