Kamis, 01 Juli 2010

Surga yang Jatuh di Tanah Magetan

0 komentar






Aku putuskan untuk mencintaimu.


Sonata diantara rumput, ilalang dan bebatuan. Embun yang berderai jatuh membelai sekujur wajah. Masih beberapa kilometer lagi, akan kubawa engkau menyinggahi hijaunya dedaunan dan wanginya bunga-bungaan surga. Kita bisa mendengar bisikan ikan-ikan di sungai sejernih awan. Melagukan hari-hari yang telah lalu diiringi merdunya air yang jatuh di atas batu.

Aku memutuskan untuk selalu mengenangmu.

Bukit-bukit menjulang dengan ribuan pohon-pohon cemara. Ada banyak cerita yang dibawa angin dan gerimis yang datang tiba-tiba. Namun, tidak ada duka disini. Hanya kedamaian dan kebahagiaan abadi yang membuat siapapun akan selalu merekahkan senyum. Melihat eloknya telaga sarangan adalah penawar luka. Disini kita akan selalu diingatkan untuk satu hal. Cintailah seseorang. Berkorbanlah untuknya, bukan karena kamu ingin meninggalkannya, namun karena dunia tak pernah memberikan waktu abadinya pada kita.

Mengunjungi telaga sarangan, adalah melihat pengorbanan dua orang yang saling mencintai menebus segala kesedihan. Kyai Pasir dan Nyai Pasir setelah memakan telur yang mereka temukan di tengah-tengah hutan, tiba-tiba menjelma sepasang naga, yang kemudian menjadi simbol cinta dan pengorbanan. Mitos itu sampai sekarang mungkin masih ada dan abadi di bawah birunya telaga sarangan. Cinta disini adalah ritual, upaya dalam meruwat ingatan agar tidak lupa mengenai siapa kita.

Telaga sarangan merupakan hilir. Segala kesedihan senantiasa di larung di sini. Berjalan mengikuti sungai dengan air yang jernih dan terasa dingin, akan membawa kita menemukan sebuah surga yang terlupakan. Kabut tipis berarak menyapu ujung sebuah bukit. Langit menjadi putih, kegegalapan menjadi begitu damai dirasa.

Magetan. Kota kelahiran, dan kadang aku tak percaya pernah lahir disana. Jauh dari telaga ini, banyak pedih yang menyayat-nyayat. Banyak impian yang hanya menjadi alas pembersih kaki. Begitu susah mendapatkan kedamaian di luar. Padahal di sini, bahagia melimpah ruah yang tak akan habis direguk jutaan jiwa.

Dengan langkah ringan, dan tangan yang masih berpegang, kami menikmati kaki kami melangkah pelan menyusuri tanah, menyusuri jalanan setapak yang mulai menanjak. Siang merambat, hingga hampir sore. Namun, udara tetap dingin. Matahari hanya menjadi pemanis siang itu, panasnya tak mampu menembus jejeran pinus dan cemara.

Suara air mengalir membelah bebatuan, menimbulkan komposisi nada yang harmonis. Sesekali kami berhenti, melipat celanan dan menjulurkan kaki ke dalam anak-anakan sungai. Air yang mengalir di sela-sela jari kaki menjadi obat lelah yang mujarab. Tak ada ruginya setelah sampai di telaga melanjutkan perjalanan mendaki ke perkampungan di sekitar air terjun. Di sana, wangi sate kelinci dan wedang jahe membaur diantar bau tanah basah dan senyum ramah warga.

Teruslah berjalan. Menyusuri tanah dengan lading-ladang sayur yang tumbuh subur. Jika waktu panen tiba, diperbolehkan untuk membeli langsung dari petani yang orang-orang dusun. Belilah dengan arif, meskipun mereka tak pernah menaikkan harga sayuran setinggi tengkulak, bayarlah dengan pantas. Di sana kedamaian adalah cinta antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan hutan.

Tepat di ujung jalan setapak. Langkah kami berhenti. Bukan karena lelah, tapi kami menemukan keindahan yang susah kami ceritakan. Di depan menjulang air terjun yang bergemuruh, lembut namun terasa keperkasaannya. Kami biarkan momen ini terekam indera kami. Menjadikan semua abadi di perjalanan kami yang singkat. Kami rasa ini adalah surga di tempat kelahiranku yang ku benci. Melihat semuanya mulai bernyanyi, membuat hati kecil kami menyala bahagia. Kami percaya surga kecil ini memberikan semua cintanya buat kita semua. Lantas, kenapa kita pelit memberikan cinta dan pengorbanan untuknya?


Nb: cerita ini mengenai telaga Sarangan yang berada di kaki gunung Lawu. Untuk kesana dapat diakses melalui dua arah. Arah Timur, dari terminal pertigaan terminal bis Maospatih Magetan menuju ke arah Kota Magetan yang menempuh jarak 12 kilometer, sesampainya di jantung Kota Magetan perjalanan dilanjutkan mengikuti penunjuk jalan menuju Sarangan, dari sini perjalanan menempuh jarak 17 kilometer hingga sampai di Wisata Telaga Sarangan.

Sedangkan dari arah barat, rute perjalanan adalah dari jalur Karanganyar, Solo, melewati terminal bis Tawangmangu perjalanan naik menuju Cemoro Sewu Gunung Lawu, kemudian turun dan sampailah di Wisata Telaga Sarangan. Jarak tempuh jalur dari arah barat, Tawangmangu-Sarangan, ini adalah 15 kilometer.

ke Blora...

0 komentar

“Ini matahari! Ini Matahari!”
matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu sendiri.
(Sapardi)

Rasa kantuk belum juga hilang, dua kota lewat begitu saja di luar kaca jendela yang berembun. Solo dan Purwodadi berlalu bersama angin bulan Oktober, aku masih terlena dalam empuknya kursi bis. Malam menjelma bayang-bayang dengan cadar terhitam yang pernah kulihat, lalu tiba-tiba dia menghipnotisku. Aku rindu matahariku-Suryaku…
“Ahmed, lihat… Srengengge (matahari) menyambut kita.” Ujar Mas Guh, sambil menggoyang-goyangkan badanku dan menunjukkan jari telunjuk ke arah Timur di balik kaca bis.

Lantas, seluruh rasa letih lenyap, rasa kantuk hilang dan berganti rasa takjub luar biasa. Matahari bulat penuh serta terbakar, memerah oleh hari-hari lalunya yang berubah jadi abu, lalu muncullah hari baru itu. Kegusaran selama perjalanan juga lenyap, entah kemana. Matahari itu menginggatkan aku pada mustika.

Cahayanya berpendar merekah, merengkuhi bayang-bayang pohon jati yang gundul ditinggal pergi daun-daunnya. Sisa embun menetes diantara jari-jari daun dan rumput yang subur di ketiak sawah. Ladang-ladang jagung mengguning di bawah lautan biru dihiasi benik-benik awan seputih salju. Lalu aku teringat pada perempuan itu, dimana cinta ini aku berikan setulus hati. Dia juga yang mejelma matahari dalam hari-hari gelapku.

Terlalu banyak yang menjadi jelas bagiku: kini aku tidak lagi berurusan dengan hal itu. Tidak ada lagi segala yang hidup yang aku cinta. Selain perempuan itu dan diriku sendiri tentunya. Ya! Aku ingin hidup yang aku inginkan atau tidak hidup sama sekali. Aku datang ke Blora ini bersama Mas Guh, dan tentu saja perjalanan ini tidak sia-sia.
Orang desa yang berlalu lalang dengan ontel tersepuh karat—keemas-emasan, melambaikan tangan kepada sesama. Andong lewat dengan membawa sayur-sayuran yang masih segar, dan ibu-ibu yang hendak ke pasar. Ladang jagung menghampar menjadi karpet kuning dalam beranda horizon yang tak terbatas. Aku igat lukisan yang dibawa Mas Guh dari Jogja. Sapuan warna hijau dan biru tua tanpa merefleksi suatu ojek. Lukisan itu hanya sebuah garis lurus yang menurutku sebuah horizon, dengan warna hitam coklat tua yang menjadi batas antara langit dan bumi.

Matahari, memberikan seluruh cahayanya melewati rumah-rumah panggung yang berdinding kayu dan beralas tanah, menyibak daun-daun kering menggunung di tanah yang merekah. Penggambaran utuh tentang kesemestaan sekaligus wujud titik paling dalam yang mendiami seluruh jiwa manusia. Inilah yang diingikan oleh manusia yang paling suci. Atau inikah yang aku inginkan dalam setiap perjalananku?

“Sial—masihkah aku memiliki tujuan? Sebuah tempat berlabuh bagi layar-ku? Hanya angin yang baik inilah satu-satu yang tahu kemana aku pergi dan dimana malam yang jujur yang akan menjadi mantel bagiku. Apa yang tersisa untukku? Satu hati yang letih dan tak menentu, kehendak yang gelisah, sayap-sayap yang lemah, dan tulang punggung yang patah.”

Aku disambut Surya, dialah harapanku satu-satunya, tempatku untuk merindukan sesuatu. Surya-lah yang menjadi guru dalam pengelanaan tanpa akhir, sekaligus sesuatu yang selalu aku pandang dari sudut di bumi yang berbeda selama perjalananku. Lalu, aku hanya ingin memandang Surya yang berwarna hitam—mungkin dari suatu tempat yang belum aku singgahi. (Blora, 09/10/2007)

Rabu, 30 Juni 2010

Menunggu Ombak Terakhir

0 komentar


Sore. Aku lupa memangil namamu. Senja hampir larut hendak mengakhir kisahnya hari ini. Dari seberang samudera, sepertinya hanya tangis yang terbawa oleh angin. Kesedihan yang berlarat-larat, bergulung-gulung diantara pasir dan debur. Hendak kuterjemahkan sendiri air mata yang jatuh dari sudut relung itu.

Ya, kami datang ke pantai ini memang hendak membaca puisi, menulis, menerjemahkan isyarat dari pasir-pasir dan kapal-kapal nelayan yang tersandar bagai patung menunggu datangnya musim panas. Ombak selalu datang mengabarkan tentang keabadian yang ada di bawah palung. Dimana waktu mampu berhenti berdetak, matahari menghilang dari peredaran. Disana, kisah cinta akan setegar karang, selembut gelombang pasang. Namun, kami masih saja mempertanyakan arti mencintai. Arti memberi dan menerima.

Setelah melalui perjalanan yang terik, menyusuri ujung utara jalan Bantul dan berakhir di wilayah Samas, kami sampai pada pantai dengan pasir yang lembut. Dengan ombak yang lebih banyak bernyanyi serta menari mengikuti irama hati, daripada menjadi deburan-deburan yang terasing. Jangan datang dengan perasaan gundah, saranku. Datanglah dengan hati yang berbunga-bunga. Jika tidak ada cinta yang membuat kita bahagia. Datang dan bawa uang, belilah cinta di warung-warung yang hampir roboh di sana. Perempuan-perempuan jelita akan dengan senang hati memberikan cintanya untukmu.

Entah kenapa tiba-tiba kami datang berziarah ke pantai samas ini. Pantai yang tak seramai Parangtritis atau Parangkusuma ini seperti membongkar seluruh imajinasi, melengkapi petilan-petilan inspirasi yang tercecer oleh waktu saat menghadapi pikuknya jogja. Kami datang kesana dengan cinta. Dan berharap menjumpai senja yang melukis perjalanan hidup kami. Kami datang tidak sendiri, berharap menemukan gulungan ombak terakhir dan menemukan tempat dimana waktu menjadi abadi.

Catatan: Pantai Samas adalah pantai yang terletak di Desa Srigading, Sanden, Bantul atau sekitar 24 km selatan Yogyakarta. Pantai Samas terkenal dengan ombaknya yang besar, delta-delta sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Oleh Sub Dinas Perikanan Propinsi DIY, telaga-telaga tersebut digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu dan udang galah serta untuk lokasi pemancingan. Di pantai ini, sering diadakan ritual keagamaan oleh masyarakat Yogyakarta seperti Upacara Kirab Tumuruning Maheso Suro dan Labuhan Sedekah Laut. Pantai Samas berbatasan dengan Pantai Patehan di barat dan Pantai Parangtritis di timur. Selain ombaknya yang besar, pantai Samas terkenal dengan angin lautnya yang kencang dan bibir pantai yang curam serta pantainya yang berpasir putih. (Wikipedia)

Selasa, 29 Juni 2010

Hamparan Peta Penuh Darah

0 komentar

Oleh: Achmad Soeparno Yanto


“Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini... ”

***
Awal musim ini menghadirkan angin dengan aroma cemara yang basah. Membuatmu takjub, pada butiran air diantara daun dan ranting, diantara rumput dan ilalang. Ada janji yang kau kekalkan pada bukit ini. Tentang kisah yang kau rangkum bersama simfoni hutan kala senja dan senandung air terjun yang menderas, nyanyian yang mengiris-iris seluruh sanubari menjelang timbulnya pelangi. Demikianlah, jalan hidupmu tiba-tiba berbatu, tanah yang tergores dari luka yang kau toreh. Kau rajut serat-serat masa silam dalam sumpah serta kutukan yang tumbuh bersama akar-akar pohon ini.

Masih kau simpan di saku celana—entah yang mana—sebilah pisau yang selalu kau asah ketika adzan Magrib menjelang. Telah aku saksikan sendiri, ketika pisau itu merobek dan menyayat mozaik hidupmu. Saat itu langit mendung, kabut turun dengan merapalkan ayat-ayat doa, suara orang-orang mengaji tiba-tiba membuatmu termenung, dan tersadar. Di belakang bukit ini, kau selami hati perempuan itu, dan kau tinggalkan benih-benih mimpi tepat di cerung antara telinga dan matanya. Dia terluka, namun entah kenapa, juga begitu bahagia.

Kau punya alasan sendiri untuk semua ini, tentunya. Dan aku telah menduganya sejak awal. Sejak pesan berkelebat bersama burung-burung sriti, dan berlompatan dengan lutung . Juga dalam pandangan mata, pada ucapanmu kepada setiap orang-orang desa. Aku juga sudah membacanya lewat isyarat burung-burung yang menggigil, cuaca yang mendesis serta kawat-kawat listrik yang mendingin. Percakapan ini hendak kau bawa pada perpisahan bukan?

Perempuan itu datang kala petang, setelah selesai mencari kayu bakar di hutan. Berdiri sendirian di beranda depan rumahmu. Sementara nenekmu belum pulang dari hutan, kandang-kandang kosong karena ditinggal merumput hewan-hewan ternak ke tanah lapang. Dengan pisau itu kau keluar menemuinya. Diam-diam perempuan itu mengucurkan kenangan ke dalam cangkir kopimu. Perempuan itu memang telah datang, namun, dia hanya diam. Barangkali dia sudah tahu tentang riwayat perpisahannya.

Adakah yang hendak kau tawarkan untuknya. “Apalagikah yang harus aku lakukan untukmu?” Katamu. Mulutmu kemudian terkunci. Kau reguk kopi itu hingga tandas. Kau sisakan kenangan, itu pun berubah jadi beban di lidahmu.

Perempuan itu terus saja diam seperti pualam. Dalam kegelisahan, aku mulai bisa menebak isi pikiran mereka. Hati mereka pun saling menatap, mengantar percakapan yang diam. Surup merambati bukit dan menyergap sepasang siluet yang masih menunduk di sebuah kursi. Sedangkan kata-kata hanya akan berkejaran dengan kenyataan, hanya akan menghadirkan lalu memusnahkan. “Apa yang dapat kita selesaikan, dengan percakapan yang hanya sekejap?” perempuan itu masih diam, namun kedua matanya telah lebih dulu menelusuri lorong-lorong hati sosok bayangan yang lelah sekaligus kesepian.

***
Cuaca kelabu yang kubaca dari lipatan batu. Kau datang dari kota penuh kabut beberapa hari lalu. Menagih kenanganmu bersama perempuan yang lama melumut di sudut bukit ini. Aku pikir kau sudah tahu sejak lama, tentang pernikahan perempuan dengan seorang anak wakil camat sebulan silam. Bahkan, aku juga sempat menitipkan kabar bahagia ini bersama angin pada musim kemarau lalu. Pernikahan yang begitu megah, karena berlangsung selama tujuh malam dan tujuh siang, sekaligus menjadi pernikahan yang sakral karena dilangsungkan di puncak Gerojokan Sewu dalam tata adat yang ketat.

“Hendak aku genapkan cuaca padanya, pada kepulanganku kali ini.”

Perempuan yang malang, dia telah berusaha menunggumu. Memandang jauh ke langit di ufuk paling ujung, berharap mampu menafsirka peristiwa-peristiwa. Namun, kebosanan akhirnya datang juga. Kesunyian sekaligus kelelahan merambati seluruh urat nadinya. Udara yang sepi namun basah telah menikam setiap jengkal mimpinya. Beratus bahkan mungkin ribuan surat, coba ia kirim pada alamatmu di kota penuh kabut itu. Namun, tak juga surat itu berbalas. Surat-surat itu hanya melahirkan kengerian baru baginya, membentuk senandung sunyi yang abadi.

Kepulanganmu terlambat. Sia-sia jika kau coba nyalakan kembali pelita itu, udara sudah begitu beku. Kenangan, hanya sedikit yang kau pahami tentangnya. Selebihnya kembali senyap, tak ada yang bisa kau sampaikan pada perempuan itu. Perempuan yang telah mencintaimu sejak masa kanak-kanak. Bahkan, sejak masih dalam rahim ibunya. Matahari telah menjadi padam di dadanya, seperti daun-daun yang kembali berguguran, berserak pada tanah—peta kita yang menjadi fana dan kering.

Dengan keberanian yang ada, kau datangi rumahnya. Menemui perempuan itu dan suaminya. Kau salami keduanya, ketika mereka menyilahkanmu duduk di kursi ruang tamu. Rumah yang besar, dengan halaman yang luas serta dipenuhi bunga-bunga gunung dan ilalang-ilalang hias. Sebuah air terjun buatan selalu bergemiricik di sudut taman, dengan ikan warna-warni saling berkejaran. Di sini kau tampak begitu anggun, begitu indah bersanding dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kau ceritakan pada mereka tentang layatanmu ke negara-negara yang letaknya jauh menyeberangi benua demi benua. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain, hingga kau bertemu dengan seorang tua Amerika dan terdampar di benua megapolitan itu. Seorang tua yang akhirnya mengantarkanmu menjadi nelayan lintas benua yang tangguh. Aku senang mendengarkannya, namun aku juga begitu sedih. Telah kau coba belajar menumbuk luka, dari desiran angin dan deburan ombak yang ganas. Hendak kau rangkum seluruh getir dan pesona cinta dalam peta, yang akan kau persembahkan pada perempuan.

“Bahagiakah engkau disini bersama suami yang tidak kamu cintai?” Katamu.

Kau amukkan badai di hati perempuan itu, setelah sempat kau curi senja yang melekat indah di alis matanya. Perempuan itu bimbang. Pagi yang kelam dari keluasan cakrawala hatinya telah berkali-kali membuatnya berduka. Matanya berkaca-kaca, terangkum dengan jelas jejeran masa silam. Namun, karena itulah perempuan menguntai bunga-bunga untuk waktunya yang tersisa. Kau pun bergegas pergi dari rumah itu. Sempat kau tawarkan sebuah nama untuk anakmu kelak, nama yang menginggatkannya pada sosok tua di benua Amerika sana, nama yang singkat—Rafael.

***
Masih sempat kau memandang luar, sebelum menutup pintu rumahmu. Dalam siang yang mulai meremang, masih saja kau berharap kedatangan perempuan. Tapi yang tampak di depan rumah, hanyalah sebuah pohon nangka yang besar, dengan daun-daun yang rimbun. Umurnya telah genap 50 tahun ini dan men julang hingga tujuh meter. Kau buru-buru mengambil pisau dari sakumu. Pisau yang sudah kau anggap bagian dari dirimu. Di belakang rumahmu itulah, kau kemudian mengasahnya. Menikmati suara yang keluar dari gesekan mata pisau dengan batu asah. Sesekali kau membayangkan, mata pisau yang dingin ini menyentuh urat lehermu.

“Kepasrahan adalah daun-daun yang basah dibanjiri embun. Kenyataan melukai mata dan nyeri mengiris nadi serta jantung.” Kau menyenandungkannya diantara suara adzan yang mulai mengema di lembah dan ladang-ladang sayur.

Tidak kau sadari, seorang perempuan telah menunggumu lama di beranda depan rumah, mendengarkanmu mengasah pisau. Sebuah senyum paling manis merekah, menunjukkan gigi-gigi putih yang berderet rapi. Tangan kirinya memegangi leher yang indah dan nampak berkilau di balik rambutnya yang hitam bergelombang. Umurnya belumlah genap 20 tahun. Namun, nampak lebih tua dalam penantian-penantian panjang. Dalam sebuah waktu, aku menemukan gairah hidupnya yang berserak.

Dia ragu untuk mengetuk pintu rumah itu. Tugur memandang ukiran pintu, tampaknya dia sudah punya rencana, dan berharap takkan sia-sia. Inilah perjalanan terakhir sisa hidupnya, perjalanan bagi kenangan sekaligus selamat tinggal yang indah. Perempuan itu sama sekali tidak terlihat kesal dan takut, menunggumu mengasah pisau. Bisa kurasakan sekarang, beranda rumah ini tiba-tiba menjadi beku lantas sunyi.

Barisan pot bergantung dengan bunga-bunga anggrek merah ataupun putih yang merekah diam, asbak rokok yang ada di meja, lengkingan suara hewan-hewan nocturnal, petang ini seakan-akan lenyap dari kepalamu. Tik tak detik jam tidak terdengar suaranya lagi. Sekejap tanah dan langit merasuk, dan bersemayam di jantung perempuan itu. Inilah ekstase yang tiba-tiba timbul setelah penantiannya yang panjang berakhir dan kau masih khusyuk mengasah pisau.

“Ya, inilah saat yang sungguh kunantikan. Karena aku sangat mencintaimu, melebihi apapun.” Suara perempuan itu bergetar mempesona.


***
Ya, akulah periwayat itu. Meruwat waktu serta kenangan yang ada dalam cuaca. Aku masih berdiri kokoh di depan rumahnya, memandang beranda sekaligus senja. Mengkabarkan pada angin, dan selalu menanti berita dari burung-burung. Sekedar mencoba menghibur perempuan yang telah setia menantimu di puncak bukit itu. Akulah yang selalu mengusik hati perempuan melalui angin dan musim. Mengusir gelisah yang mampu meredupkan matanya. Mengisi kekosongan di sudut jantungnya. Disinilah, ya di depan beranda rumah ini aku bersemedi, hingga berlumut luput dari senja dan kembara waktu.

Perempuan jelita itu tak sanggup menyakiti hatimu. Telah ia persembahkan sepenuhnya usia. Sebagai karma atas takdir yang telah ditiupkan melalui tabir adzan di telingga kanannya. Sungguh, telah ia coba untuk setia. Melawan waktu yang tiba-tiba saja berlari di hadapannya. Tak sanggup ia hidup tanpamu, lelaki yang telah menanam benih mimpi di sekujur ingatannya. Ingin ia salahkan aturan adat di desa ini, aturan yang menjadi sebuah jeruji yang tak mampu ia tembus. Aturan yang mengharuskan anak-anak perempuan untuk menikah sebelum genap 20 tahun. Namun, ia tak sanggup. Mendengar kau mengasah pisau di belakang rumah, perempuan itu hendak menyapamu. Sekedar mengucapkan kata selamat tinggal, tapi sudah tak mampu.

Demikianlah, kau lipat hamparan peta penuh darah ini. Hamparan peta yang mendamparkanmu di selat paling ujung sebuah benua, dengan petang yang datang mendera bagai hujan ketika kau mengingat perempuan itu telah mati bersimpah darah di depan beranda rumahmu. Kau menjadi lupa, mengasah pisau itu untuk siapa.


Yogykarta, [....]

Jangan Menjadi Ragu di Sini!

0 komentar

Pelajaran berharga saat mencoba mendaki bebatuan gunung ini adalah jangan menjadi peragu. Ragu-ragu menentukan arah saat memilih jalan, ragu-ragu untuk berhenti dan menikmati nyanyian burung-burung, serta merasakan desiran angin yang menyerupai sonata diantara rumput dan ilalang. Menjadi manusia ragu-ragu disini, hanya akan membuat kita tidak menjadi siapa-siapa. Bahkan, tragisnya kita tidak akan menikmati pesona eksotik gunung yang mitosnya masih satu rangkai dengan Merapi.
Sepanjang jalan, adalah pesona ilahi yang tak terceritakan. Bagaimana angin berhembus lembut, tanah yang lembab karena dipayungi ribuan cemara dan akasia. Serta sesekali merasakan sedikit kehangatan dari cahaya yang terpancar melalui lubang-lubang daun. Kami biarkan semua indera kami aktif dan merekam segala fragmen menjadi abadi, di umur kami yang singkat.
Batu-batu raksasa yang menjulang tinggi, menjadi pemandangan menggagumkan. Jika saja aku mampu menerjemahkan guratan dan goresan pada batu itu, mungkin aku bisa membayangkan bagaimana manusia memaknai keindahan. Menjalani hidup. Menikmati segala kebahagiaan yang datang padanya dan mencoba menghindar jika sampai pada masalah-masalah. Di sini adalah pelarian, namun disini juga tempat yang mengajarkan kami untuk tidak menjadi manusia peragu.
Perjalanan mendaki memang lumayan berat. Tapi, segala pesona yang terhampar adalah obat mujarab melawan kelelahan. Menziarahi satu batu, ke batu lain yang lebih tinggi menjadi ritual baru dalam menyembah keindahan gunung ini. Dari celah paling sempit di sebuah tebing, rasa-rasanya egoisme kami hanyut dalam sebuah pusara.
Saat jalan berbelok 90’ dan kemudian tiba-tiba menanjak turun, kami biarkan naluri kami menemukan sendiri padang bunga-bunga tempat dimana segala kebahiagaan bermuara. Disini keragu-raguan kami diuji. Apakah akan mengikuti kehendak emosi, terus memanjati batu-batu yang menjulang, atau membiarkan diri kami dituntun oleh naluri dengan segala kebahagiaan menjali seorang pejalan? Kami putuskan untuk membiarkan diri kami hanyut dalam jalan setapak yang ditimbuni daun-daun kering.
Kami sampai pada sebuah kampung kecil yang terkurung oleh hutan. Terpencil sendirian, seperti sosok orang tua yang duduk terpaku menyaksikan matahari tenggelam. Inilah ternyata lembah kebahagiaan itu, orang-orang santun menyapa saat hendak pergi mencari rumput. Rumah-rumah berdiri dengan sekedarnya sejompo orang-orang yang ada. Tidak banyak pemuda yang lalu lalang, karena saya yakin para pemuda disini sudah hijrah mengejar mimpi-mimpi mereka di kota untuk merasakan keindahan semu peradapan.
Di sebuah pematang dengan air sebening embun, mengalir meliuk membawa bunga-bunga liar ke desa seberang. Kami duduk. Di atas gunung, terlihat dengan jelas sebuah batu besar seakan berdiri merekam segala perubahan yang terjadi sepanjang zaman. Dialah puncak sebenarnya, meski kami tidak sempat menziarahinya, tapi kebahagiaan kami sebagai manusia yang selalu berjalan mencari kedamaian cukup untuk hari ini. Karena kami masih bisa menyaksikan pesona gunung Nglanggeran atau merapi purba ini.

__________
NB: Catatan ini merupakan cerita (dari perspektif pribadi) mengenai Gunung Nglanggeran yang terletak di desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk kabupaten Gunungkidul. Gunung ini berada dikawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl dengan suhu udara rata-rata 23˚ C – 27˚ C, jarak tempuh 20 km dari kota Wonosari dan 25 km dari kota Yogyakarta. Ada 2 jalur jalan untuk menuju Objek Wisata ini melalui jalan aspal yang mulus, jika dari arah Wonosari kita melewati Bunderan Sambipitu, ambil kanan arah ke dusun Bobung/kerajinan Topeng, kemudian menuju Desa Nglanggeran ( Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ). Jika dari arah Jogjakarta: Bukit Bintang Patuk, Radio GCD FM belok kiri kira-kira 7 KM ( arah desa Ngoro-oro lokasi stasiun-stasiun Transmisi ), menuju desa Nglanggeran (Pendopo Joglo Kalisong/Gunung Nglanggeran ).