Senin, 05 Juli 2010

Asam di gunung, garam di laut

0 komentar




Tepat setahun yang lalu, setelah ku menggenapi tahun yang penuh suka dan duka. Yaps, 28 Juni 2009 adalah hari yang biasa aja tapi seneng (*jiah nda special, payah!). Biar ku ceritakan padamu tentang perjalanan yang merupakan pengalaman pertamaku jalan-jalan ke pantai Baron (*sumpah pantai yang indah). Ini adalah penggalan kisah dari seribu kenangan. Mau tahu ceritanya? Begini ceritanya hahahaha (*pake ketawa ala pahlawan bertopeng).

Fajar hendak menggantikan malam saat ku terbangun dari lelap yang indah. Aliran sungai yang mengalir dari sudut bibirku pun telah kering rupanya (*ich jorok ileran!). Suasana kost masih sepi, terdengar suara yang tak asing lagi dari kamar sebelah yang mernyerupai suara kodok (hahaha pasti suara cewek ngorok). Hmm hari ini gembiraku penuh, terbayang di kelopak mata indahnya perjalanan yang akan ku tempuh Jogja-Wonosari, mantap! Mandi jadi ritual pertama dalam perjalanan ini meskipun air dingin menusuk setiap pori-poriku tak ku hiraukan, dari pada bau badan karena nda mandi???

Ba’da sholat subuh, Aa dan motor tuanya sudah menjemputku di depan kost (*rajin ya?). Kami berangkat menyusuri jalan yang masih berkabut senada dengan cakrawala, Jogja memang selalu indah. Selain indah, Jogja adalah saksi hidup kisah cinta ini (*cuit cuit). Perjalanan berlanjut dan menyusuri bukit yang nan indah di jalan wonosari, ngak tau bukit apa namanya, kengerian muncul di dalam hatiku. Maklum trauma kecelakaan ampe 9 kali, kalo yang ke 10 nda lagi dech, kapok. Lekukan hijau pohon-pohon besar mengukir indahnya kenangan. Pesonanya membuat decak kagum bagi yang melihatnya. Ada tikungan yang mengajari kita menghitung kecepatan (*Dilarang ngebut!).

Dua jam kemudian kami tiba di pantai. Aku selalu mencintai pantai. Mengagumi  ombaknya yang berlarian indah. Buih-buih berkata lewat hamparan pasir “Jangan mandi ombaknya ganas”. Nampaknya air laut sedang naik pagi ini. Jantung hatiku “Achmad Cahyanto” mencoba menikmati pantai seperti ia menikmati gunung sebagai kecintaannya. Dia mencintai gunung, dan aku mencintai pantai. Seperti garam di laut dan asam di gunung bertemu di kuali, seperti itulah kami (*wah ketemu dikuali juga tho?). perbedaaan karakter dan watak tak dapat memisahkan kami.

Kami duduk di pendopo kecil ditengah pulau yang kecil juga (*weis ra ngenah tenan tulisane). Merasakan desiran angin meraba pipi, hidung, tangan, badan ach semuanya lah. Disudut pulau ini kami abadikan dengan foto. Bergaya suka-suka ala narsis.com. Kan aku ketua KMK (Komunitas Muka Kamera) kanca kost kantil jadi disetiap tempat harus diabadikan dengan foto meskipun dengan tampang standar.

Kami sapa alam dengan senyuman. Laut mengajariku tentang kesabaran tiada batas. Kedalamannya mampu menenggelamkan duka dan air mata (*mungkin air laut jadi asin karena banyak yang nangis). Telah ku buatkan perahu mungil untuk impianku dan mimpimu, biarlah ia bermusafir dalam samudra cinta. Karena setia adalah mentari yang mengantar malam diujung samudra.

Pengunjung makin ramai ketika mentari sudah nampak sepenuhnya. Pasangan muda-mudi, anak-anak, orang tua bahkan nenek dan kakek pun turut serta mungkin mereka tahu kalo ada artis (aku) yang datang kepantai ini makanya rame (*iya artis yang tidak dan tidak akan pernah terkenal). Kami kemudian berjalan menyusuri pantai membiarkan air laut menyapa lembut telapak kaki. Ichhh perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata.

Setelah lelah menyusuri pantai, kami duduk di pinggiran pantai sambil menikmati kelapa hijau penghilang dehidrasi yang sedari tadi melanda kami. Aa tertawa bagai kanak-kanak ketika air kelapa muncrat dari sedotan yang kutarik dari bibirnya. Seperti biasa senyum gigi kelincinya selalu dia bawa kemanapun (*kan nda bisa dicopot). Hahahahaaa, ketawa lagi.

Panas terik mentari menyengat kulit ku (*awas kanker kulit lo) membuat kerlingan-kerlingan keringat yang bermunculan dari pori-pori. Wah, proses penghitaman kulit kami yang sudah hitam (*wow magic). Beberapa penjaja makanan dan penjual acecories menghampiri kami, berharap kami membeli barang dagangannya untuk mendapakan sejumlah materi. Hebat, mahal banget! Masa untuk gelang yang biasa di malioboro mereka jual dengan harga 3x lipat, ampun dech! Ya mungkin mereka belanjanya di Malioboro juga jadi pake ongkos jalan yang besar. Nda beli ah, mahal bin bikin tongpes alias kantong kempes (*halah bilang aja nda punya do’it).

Ketika sorot sinar matahari benar-benar diatas kepala kami memutuskan untuk pulang. Ya antisipasi agar kulit hitam kami nda jadi hijau, coz takut di kira satu species sama hulk. Sepanjang jalan pulang sebenarnya aku antusias dengan penjaja belalang, hmm pengen coba merasakan belalang. Wisata kuliner yang menjadi khas wonosari. He’ehhh tapi ternyata nyaliku terlalu ciut untuk mencicipinya. Mungkin suatu saat nanti pasti ku coba, yakin!

Di langit siang itu kami gambarkan senyuman paling tulus untuk masa depan.

Udah ceritanya, wong lupa ngapain aja disana. Kan udah lama terjadi taon lalu tuch. Dengan sifat pelupa yang ini kayanya memang berbakat sekali untuk menjadi nenek-nenek dimasa tua ya? Kan Aa ku jadi kakek ahmed senyum kelinci, dan aku jadi nenek mata panda. Hehehehee

Meskipun tulisannya ngak nggenah, tapi kalo bagus bilang-bilang ya? Kalo jelek buang ajach… makacieh…

0 komentar:

Posting Komentar